Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Renungan: Ketika Al Quran Diharapkan Memberikan Petunjuk

Tidak terbantahkan dalam sudut keimanan bahwa Al Quran adalah petunjuk bagi mukmin. Ayatnya jelas menerangkan itu di awal-awal kitab. Bahkan secara tegas ayat-ayat Allah tidak diragukan lagi kebenarannya.

Renungan Membaca Alquran




Sering kita menyaksikan kisah-kisah mualaf yang mendapatkan hidayah Allah karena bersingunggan dengan Al Quran. Hebatnya lagi, Sahabat Umar Bin Khatab pertama kali masuk islam karena mendengarkan Ayat Al Quran yang dibacakan adiknya. Kisah Sayidina Umar begitu mashur yang mengisyaratkan bahwa Al Quran menjadi salah satu perantara Allah SWT memberikan hidayahnya.


Pembuktian bahwa Al Quran benar-benar berasal dari Allah juga sangat banyak. Banyak peneliti yang menyadari hasil temuannya ternyata sudah termaktub di dalam Al Quran. Anda bisa menyimak kesaksian mualaf tentang bagaimana mereka memutuskan untuk menjadi muslim. Dan kisah-kisah itu dapat kita cari dengan mudah dengan kemajuan teknologi di era modern saat ini.


Mulai dari sini, kita yakin bahwa Allah telah memberikan petunjuk melalui Al Quran kepada para mualaf. Lalu bagaimana dengan kita yang sedari kecil sudah menjadi seorang muslim. Adakah ayat-ayat Al Quran yang 'benar-benar' memberikan petunjuk bagi hidup kita ini?


Di sinilah saya merenungi, mengapa orang yang sudah mumayyiz (sudah berakal) terlihat mendapat petunjuk langsung dari Al Quran dibandingkan saya yang sejak lahir sudah muslim?


Memang benar, saya telah muslim sejak lahir. Kenikmatan-kenikmatan hidayah Allah telah kita rasakan sejak itu. Seiring berjalan waktu, tubuh bayi yang belum memahami hingga mulai tumbuh hingga mulai mengerti sedikit demi sedikit, pemahaman kita diisi oleh hal-hal lain. Keluarga dan lingkungan yang mempengaruhi bahwa sebenarnya perasaan mendapatkan hidayah Allah sejatinya telah sering kita rasakan. Saking seringnya kita mendapatkan hidayah Allah sehingga terbiasa dan tidak begitu istimewa.


Berbeda dengan mualaf. Kisah hidup mereka yang belum mengenal islam. Bahkan di antaranya sangat membenci islam. Ketika pertama kali mengucapkan syahadat, mereka merasakan perasaan yang istimewa. Merasa seperti terlahir kembali. 


Barangkali, perasaan pertama kali masuk islam inilah yang kita rasakan dulu saat ayah kita mengazani di telinga kita saat lahir. Hanya saja, kita tidak memahaminya karena masih bayi. 


Perjalanan waktu kadang membuat kita itu kehilangan rasa syukur dan kesabaran. Seharusnya bagi saya yang telah lahir sebagai muslim, tentunya merasa beruntung. Sebab perasaan dahsyat saat mengucapkan syahadat seperti yang mualaf rasakan sudah lebih dulu kita rasakan dibandingkan mereka. Dan bagi para mualaf tentu merasa iri dengan kita yang sudah terlebih dulu mengenal islam dari lahir.


Hilangnya rasa syukur membuat kita kehilangan petunjuk. Hidup sebagai seorang muslim sejak lahir, tapi sering meninggalkan ajaran-ajaran Al Quran. Bahkan membaca dan mentadaburinya pun tidak pernah. Alhasil kehampaan diri dalam menjalani hidup begitu terasa.



Kita sering mendengar kisah-kisah mualaf juga mengenai cobaan-cobaan saat mereka menjalani kehidupan sebagai muslim awal-awal. Cobaan berat mereka hadapi karena keyakinan islam di dirinya sudah menjadi kemantapan hati. Cobaan-cobaan semisal itu, menurut saya, sebanding dengan cobaan yang kita hadapi. Bedanya, para mualaf terus berpegang teguh pada Al Quran, sementara kita yang sejak lahir muslim, malah alpa dengan Al Quran.


Lantas, saya kemudian mencoba membaca kembali Al Quran. Berharap saya menemukan apa-apa yang saya ingin saya cari. Padahal saya juga tidak tahu apa yang ingin saya cari. 


Dengan berbekal kisah-kisah mualaf yang menemukan hidayah dari Al Quran, barangkali dengan membaca dan mentadaburi Al Quran akan memberikan petunjuk bagi saya. Sayangnya, petunjuk yang Allah berikan sulit dipahami. Namun bisa dirasakan.


Saya sulit memahaminya untuk dikaitkan dengan apa yang ingin saya cari. Sebab kefakiran diri dalam memahami Al Quran dalam konteks kebutuhan batin saya masih belum terjawab oleh logika. 


Pada titik ini saya berpikir. Tidak mungkin Allah tidak memberikan petunjuk bagi hambanya melalu Al Quran yang saya baca. Al Quran saya yakin tidaklah salah, yang salah justru saya sendiri. 


Selain karena kefakiran ilmu, standar saya dalam mencari petunjuk berdasarkan logika saya itulah yang membuat saya sulit memahami Al Quran. Padahal, jujur, setelah qiro'atul Quran hati saya merasa tenang. 


Dari sinilah saya menyimpulkan bahwa salah satu petunjuk (dan semoga saja ini hidayah) Allah adalah hati yang tenang. Alasannya, jika dibandingkan dengan perasaan mualaf, maka yang dimaksud petunjuk/hidayah itu salah satunya adalah ketenangan hati. Seperti mualaf yang merasakan kedahsyatan ketenangan hati mereka.


Amat sangat berat sebenarnya saya menuliskan ini sebagai buah tulisan. Tidak ada kompetensi apapun pada diri saya untuk membahas kedalaman Al Quran. Para Ulama, Asatid, mubalig, kyai, atau ustad lah yang berkompeten untuk menyampaikan itu. Yang saya tulis di sini hanya sebuah gagasan seorang hamba Allah ketika mengharapkan Al Quran untuk dijadikan petunjuk bagi diri saya sendiri.


Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Renungan: Ketika Al Quran Diharapkan Memberikan Petunjuk"