Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dialog antara 'Saya' dan 'Aku'


Dialog antara 'saya' dan 'aku'


Seperti biasa, tubuh ini merangkung di atas dipan pernekel. Menghadirkan saya dan aku kembali berkecamuk. Kopi pahit--sedikit manis tentunya--memberi kudapan hayal. Dan sebatang rokok menyepul asap dari mulut tubuh ini. Puuus..., mulailah saya dan aku berdebat. Di arena kepala tubuh ini yang semakin berat.

Barangkali, kita akan membicarakan ini. Kasihan tubuh ini hampir sekarat. Tidakkah aku merasakan keganjilan ini?

Terangkan saja, saya, mungkin kamu akan membicarakan apa saja yang menurutku itu bukan urusan tubuh ini.

Tidak, tidak. Semuanya selalu berkaitan selama kita masih mencari hidup dan bernapas di sekitar mereka. Tentunya kamu tahu 'kan Aku?

Iya, aku tahu. Tapi aku selalu meniadakan semuanya bila memang tempurung kepala tubuh ini tak sanggup memikirkannya.

Semestinya kita yang harus turut memikirkannya. Kamu dan saya selalu berseberangan. Tentunya akan menyumbangkan pertimbangan, bukan.

Memang, tapi ini sulit untuk dipertimbangkan bila tidak benar-benar menyentuh tubuh ini. Itu bukan satu-satunya terapi untuk bisa menyembuhkan sekarat tubuh ini, Saya!

Bagi saya, tetap pada pemikiran awalnya. Saya berpendapat demikian sebab segalanya saling menyelimuti. Saling melengkapi dan bahkan saling menggantikan. Kalau kamu tidak mengerti, biarkan saya mengambil keputusan sendiri. Kamu tidak perlu turut campur. Biarkan saya menjadi pemimpin dalam tubuh ini!

Tidak akan. Kamu hendak mengusir aku dari tubuh ini? Itu tidak akan pernah terjadi. Kita memang selalu berdebat sampai benar-benar tubuh ini sekarat. Kita akan ikut pupus seiring nyawa dalam tubuh ini hunus. Kamu juga tahu itu, Saya!

Kalau begitu, mari kita bicarakan apa saja yang mesti kita pikirkan. Kita terbiasa meliburkan diri untuk menyumbangkan pertimbangan. Dan kamu yang selalu absen dan menghilang. Untuk itulah saya ingin mengambil alih saja tubuh ini. Biar saya yang menentukan segalanya. Kamu, tidur saja sana!

Kurang ajar! Tidakkah kita berdamai meski sesaat saja. Bersama kita padukan dan ajak aku untuk menentukan. Kita sama-sama tahu dan sama-sama menginginkan yang satu. Bila kamu yang menentukan, resiko terburuknya juga aku yang ikut menanggung. Aku tak sudi bila kamu, Saya, berkuasa.

Baiklah, kita bicarakan saja tentang pemimpin. Sekarang musim sedang marak tentang kepemimpinan. Kepemimpinan bangsa ini sedang menunggu satria piningit yang akan memberikan penerangan untuk mensejahterakan.

Untukmu, siapa yang layak kamu tiru?

Kamu mengenalnya.

Bila kita sepakat, baiklah. Kita ambil saja ungkapan sosok calon pemimpin itu. Yaitu: Bekerja dan bekerja! Tapi sayangnya kita enggan bekerja dan mengerjakan apapun yang kita rencanakan bersama-sama. Kamu malah melempar tanggung jawab untuk aku saja yang berkalang-karat. Mengendelikan tubuh ini seorang diri.

Bullshit! Kamu begitu saja. Kamu merasa kamu yang selalu melakukan semuanya sendiri. Padahal aku ada di belakangmu. Saya selalu mengambil alih upaya-upaya lain hingga semuanya stabil. Apakah kamu tidak melihat bagiamana tubuh ini tegar, kokoh menghadapi cibiran. Sayalah yang mengendalikan perasaan. Sementara kamu yang berpalang-palang mengurus pekerjaan yang harus diurus.

Kita tidak akan pernah tuntas memikirkan dan berdebat, adu pikiran, sabung kesempatan. Kamu adalah aku juga. Sudahi saja siapa yang memimpin tubuh ini. Masing-masing kita memiliki tugas yang berbeda. Saling melengkapi dan itu harus aku dan saya sadari.

Iya, saya sepakat. Tetapi dalam beberapa hal itu akan menyulut pertengkaran seperti biasanya, bukan.

Sebenarnya, bila aku sadarkan. Kita butuh masukan-masukan. Sembarang masukan kita terima begitu saja. Dari siapapun kita terima. Kita tinggal memilih dan memilah yang layak untuk mempertahankan tubuh ini agar tak sekarat. Aku bertugas melakukan dan saya bertugas mendamaikan. Seperti itulah kita ditakdirkan dan menghuni tubuh ini hingga akhirnya kita dihunus bersama nyawa: mampus!

Menurut saya, kita perlu mengumpulkan lampiran-lampiran. Biar kita kayar refrensi, kita kaya rujukan, dan kita ambil satu saja yang paling menguatkan.

Sepakat!

Tapi saya masih miskin. Dari mana saja kita dapatkan semua masukan itu?

Kamu sudah tahu jawabannya, bukan. Mestinya ini tugasmu untuk merayu hati dan mood pikiran ini untuk menuruti kemauan kita. Ingat, aku bertugas menggerakan tubuh ini. Dan kamu, Saya, bertugas menyentuh dan merangkul hati. Sudahkah itu?

Saya terdiam. Memikirkan hal sebenarnya yang sudah terjadi. Mungkinkah saya memang terlalu pasif mengajak hati untuk menyadari.

Terkadang aku selalu menunggu saya. Saya bertugas mendebat hati dan aku bertugas mendongkrak sendi-sendi. Lalu pada kesempatan yang sama, hati juga akan merasa tertawa bila kita berdua (aku dan saya) berhasil membuatnya tertawa.

Saya bukan budak hati!

Nyatanya aku merasakan seperti budak. Kamu mengerti, saya?

Saya menolak itu. Sayalah yang harus menguasai hati. Saya pula yang selalu menginginkan dan mengingatkan hati untuk selalu berperasangka baik biar mood-nya stabil.

Apa kamu sudah melakukan itu dengan gemih, Saya?

Pikirkan saja, saya sudah hampir lelah mempengaruhi hati. Coba saja kamu, aku, yang beralih tugas dengan saya. Barangkali kamu akan merasakan sulitnya merayu hati. Hati kita keras kepala, meski tempatnya di dada. Coba saja kalau Tuhan menciptkan hati ini beriringan dengan kita di kepala. Mungkin saya akan menamparnya bila tidak sepakat dengan kita.

Sudahlah, kamu selalu menghalalkan laknat Tuhan untuk kita terima. Ikhlaskan saja peran dan tempat kita di tubuh ini. Kini tinggal bagaimana kamu, saya, lebih giat lagi mengendalikan hati.

Saya melihat hati kita ini kelewat kelam. Selalu memikirkan hal-hal yang bukan harus dipikirkan. Selalu menghayal apapun dan itu mengharap kita melakukannya. Saya selalu menasihatinya agar menolak ajakan-ajakan panjang angan-angan. Percuma. Itu akan menyakitkannya lagi. Dan lagi-lagi, saya harus bekerja lebih perih lagi bila hati di tubuh ini menangis lirih.

Aku paham maksudmu, saya, Aku paham. Bagaimana bila kita sepakati saja untuk menumbangkan kekuasaan hati atas tubuh ini?

Itu tak mungkin, aku. Sebagaimana pendapatmu tadi itu, kita tidak akan bisa menolak kodrat Tuhan.

Jadi?

***
Kopi sudah terseduh sejak jam 6 pagi tadi. Sekarang tinggal ampasnya. Apa tubuh ini masih sanggup mengejang pertengkaran antara saya dan aku. Tubuh ini akhirnya lungsur, lalu pergi kemana kemauan hati. Semoga aku dan saya sedang sama-sama bekerja sama mendamaikan hati tubuh ini.
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Dialog antara 'Saya' dan 'Aku'"