Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menulislah ... (sebatas perenungan diri)

Belum aku gegerkan niatku perihal pengunduran diriku dalam dunia tulis menulis. Aku enggan mengakui dan mendeklarasikan diri seumpama benar-benar tidak menginginkan lagi menulis. Meski dalam satu komunitas aku terlibat di dalamnya, setidaknya aku mengenal nama-nama penulis yang mempengaruhiku untuk bertindak epigonis.

Sejatinya, aku masih terbentur oleh kenyataan bahwa aku teramat sulit mengentaskan diri dari pengekangan diri. Terlampau membatasi ruang untuk memberlakukan kebebasan menyampaikan gagasan. Aku terlampau psimis mengungkapkan ide-ide (yang aku anggap) cemerlang. Bahkan, kadang kesombongan menyarang di kepalaku. Satu kalimat serapah mengguruiku, "Aku juga bisa begitu. Malah mungkin lebih baik. Buktinya bla-bla-bla ...."

Kelewat angkuh memang. Aku menggurui diriku dengan ragam ujub dalam benak haribaan. Menulis seakan menjadi pakem pada satu jalur saja. Seolah menulis itu hanya dalam ranah fiksi yang membangkitkan hayal pembaca terjebak dalam alur yang dibuat dalam cerita rekaan. Puncaknya, aku tidak begitu peduli dan terkesan apatis pada semua itu.

Kadang pula pikir picik menyarung. Lepas kendali dalam lamunan gagu. Aku memikirkan bahwa tulisan yang mendarat di meja redaktur adalah salah satu puncak kepuasan penulis-penulis baru. Lalu dengan seleksiannya, tulisan itu dipublikasikan di media yang terampunya. Bila begini, aku berpikir bahwa sasaran terakhir dari tulisan itu hanya karena minat tuan redaktur saja.

Mungkin benar, kualitas tulisan menjadi satu-satunya alasan mengapa kelayakan bisa disebut kepantasan. Tapi bagiku, menulis itu ibarat lamunan yang butuh untuk dikeluarkan dan tak peduli apakah suatu saat nanti bakal dibaca pembaca atau tidak. Sayangnya, aku masih membelenggu pengertian ini dengan harapan apresiasi lesat dan terkesan menutup-nutupi ketimpangan lantaran kekariban atas nama pertemanan jejaring sosial. Alih-alih karena berteman dan tidak sudi menyakitkan teman, kritik pedas semacam hinaan urung dilemparkan. Aku berpendapat sebabnya. Sebab aku publish di media yang aku miliki sendiri akunnya. Berbeda dengan pesaingan media kabar lainnya. Ada persaingan di sana yang dikiaskan oleh selera redaktur saja.

Pun begitu, aku sering memikirkan kepincanganku. Bila aku tunjuk sasaran tematik media, tentu akan ada kesempetan berbanding kecil yang memungkin tampil. Bodohnya, aku masih menjeram makna bahwa tulisanku tidak mandat atas selera keingin redaktur saja. Toh, biarkan saja aku publish di media-media jejaring sosial. Biar bebas kapan pengunjung mendarat guna mengejanya. Maka, tidak menunda-nunda keputusan sepihak redaktur tak menjadi mengapa bila niatnya hanya untuk pelampiasan aksara saja.

Aku sering memikirkan begini: Adanya penyair atau penulis atau apapun jenis jabatannya. Butuh yang namanya si tuan penentu. Apakah kelak tulisan itu laku dan dapat dipertukarkan dengan rupiah bila menyebarkannya atau tidak. Apakah akan mengecewakan pelanggan yang membacanya atau tidak. Jangan-jangan ada kejenuhan dari karya itu bila dipaksakan saja lolos dari penyeleksian. Alhasil, ketakutan akan rugi dan ditinggalnya pelanggan media itu menjadi alasan juga mengapa tulisan itu perlu yang namanya pertimbangan.

Namun, para penulis sejati tidaklah mengukur segala puncak keberhasilan itu ditilik dari selera redakturnya apa. Lalu terbit sebagai apresiasi kelayakan. Penulis tidak cukup di situ. Penulis memilih untuk terus menulis dan dengan bantuan tuan redaktur pula penulis butuh persetujuan agar menyampaikannya kepada pembaca. Dari sini, penulis tidak terpaku pada kaca mata redaktur yang sudi menampilkan karya mereka. Sebagai kontributor, penulis hanya berkewajiban mengirimkan kepada pihak redaksi unguk mempertimbangkan visi dan misi dari perusahaan di mana ia bekera. Meskipun tidak sepenuhnya begitu, mungkin ada pertimbangan lainnya juga, akan dapat kita pahami bahwa penulis sejati tidak macet pada harapan diterbitkan apa tidak.

Ini yang tidak ada dalam diriku. Aku masih mempertengger bahwa karya yang kubuat adalah sampah hardisk di PC pribadi dan kapan-kapan waktunya dibuka lagi. Mengenang kehidupan dalam buaian imajinasinya. Kapan saja akan mengingatkan aku pada tahap penulisan itu sendiri.

Menulis bukan berpatok pada sastra saja. Artikel, esay, laporan penelitian, juga semacamnya masih berkisar pada dunia intelektualitas di banding dengan kemantapan pikiran  bahwa penulsi memang ditakdirkan untuk terus menulis/ Jika dalam dua hari penulis tai mendapati kabar tulisannya. ia tak peduli dan malah terus menmborong ulasana itu.

Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Menulislah ... (sebatas perenungan diri)"