Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hakikat Menulis Cerpen Untuk Surat Kabar

Mungkin, catatan ini terlalu dini aku buat di sini. Catatan yang menginspirasiku untuk menarikan daya imajinasi menjadi utuh. Tentang bagian dari sastra yang mengumbar estetika dalam berbahasa. Bagaimana menerjemahkan sebuah gelombang impuls syaraf yang kemudian disebut oleh gagasan. Gagasan inilah yang kemudian disebut nyawa dari munculnya kehidupan cerpen yang dibuat si empunya.

Hakikat Menulis Cerpen Untuk Surat Kabar


Namun, estetika berbahasa dalam prosa cerpen tidak melulu bagaimana cerita itu punya kemasan indah untuk dibaca. Ada unsur yang lebih universal lagi untuk kita pahami dan kita rasakan. Terlebih, bagi yang ingin benar-benar serius menggeluti pekerjaan menerjemahkan gagasan ini menjadi cerpen.

Baca juga: Epigonis Bagi seseorang  yang Memulai jadi Penulis

Ada ragam karakter tulisan beberapa pengarang yang saya yakin itu bukan sesuatu yang didapat dari kemahirannya menjeremuskan gagasan menurut aturan-aturan baku. Penilaianku, karakter itu muncul dari kegigihan pengarangnya dalam mengemas sebuah cerita. Di sini karakter itu seperti pelatihan watak yang menganjurkan kepribadian pengarangnya menuliskan jejak-jejak peristiwa. Semakin terasah kemahirannya, semakan tajam pula insting-insting pengarang itu menajamkan naluri berceritanya.

Lalu, mengapa tulisan ini muncul dan kemudian tidak aku publish ke publik sebagai argumentasi yang mereka perlu juga mengetahui ini?

Jawabanku tidak. Sebab ini bukan sebuah informasi yang dapat aku pertanggungjawabkan. Argumentasi ini perlu aku uji untuk bisa memberikan jalan atas kehendak memilih jalan menulis cerpen. Aku menuliskan pendapatku di sini sebagai bagian dari pembuktian pada hakikat menulis cerpen ala gaya dan karakteristikku sendiri.

Sampai di sini, amat jelas bahwa aku sedang membaca karakterku sendiri dalam menulis. Karakter yang mengokohkan kekhasanku dalam menuturkan cerita. Bagian dari ciri-ciri menulis yang membedakan aku dengan pengarang-pengarang yang lain.

Kemudian, aku akan membebaskan dan memproklamirkan kemerdekaan diriku melalui karya-karya sebagai wujud diplomasi ke-akuanku dalam bergaya sastra. Meskipun begitu, aku terlalu dini mengakui dan memperkenalkan karakteristikku bersastra.

Karakter dari seorang pengarang bukan dinilai dari penilaian pengarang itu sendiri. Pengarang hanya membatasi diri dari keingianannya meramu informasi di kepalanya, yang berwujud gagasan itu, kemudian melemparkannya kepada pembaca. Apresiasi macam apa yang diterima pembaca setelahnya adalah penilaian objektif atas suka-tidaknya dengan gaya penuturran-penuturanku bercerita. Dengan begitu, ketika mulai menyadari ada kekhususanku mendikter cerita, mereka juga menyimpan indikator-indikator dari cerita yang aku usung.

***

Seperti hari ini, aku membaca beberapa karya pengarang ternama. Cerpen pertama, kemudian aku jadikan sebagai refrensi karakter,  dari seorang cerpenis wanita, Yetti KA. Cerpennya berjudul "Ia yang menyimpan Api di hatinya" amat meninggalkan bekas setelah kumembacanya. Mengapa? Karena cerita ini bukan ending yang menjadi tujuan dari cerita. Tapi bagaimana si pengarang meledakkan emosi dari setiap jalinan-jalinan ceritanya. Emosi menyebabkan kekuatan terbesar pada cerpen ini. Cerpen yang kemudian berlanjut pada pemahaman dan filosofi kehidupan serta pemberontakan emosi yang meluap.

Beralih pada cerpen selanjutnya. Meski setelah membaca cerpen milik Yetti KA telah membuatku haus pada cerita yang lebih baik darinya, telah membuatku malas melanjutkan baris-baris cerpen selanjutnya yang kubaca. Namun, keinginan mengetahui karakter dari cerpen telah meronggotiku untuk mencarinya.

Aku beralih membaca cerpen terbitan Media Indonesia. Aku memilih Media Indonesia  karena redaktur untuk cerpennya adalah Damhuri Muhammad. Seorang cerpenis yang kukenal lewat cerpen "Talang Perindu" di koran lokal daerahku. Aku menghipotesa gaya-gaya Damhuri Muhammad dalam menerima karakter cerpen macam apa yang menarik minatnya untuk mempubllikasi cerpen kontributor.

Aku membaca 2 cerpen terbitan minggu terakhir. Pertama berjudul "Mariantje dan Pasangan Tua" milik Erni Aladjai. Cerpen ini mengisahkan Mariantje  seorang pembantu di rumah pasangan tua--Luna dan Don. Alur cerita ini sebenarnya sederhana, namun pengarangnya memasukan unsur-unsur kehidupan yang lebih padat. Sehingga, cerita ini semakin kenyal dan berisi serta penuturan yang semakin menguji imajinasi.

Cerpen kedua berjudul "Ayat Kedelapan", milik Budi Hatees. Mengisahkan seorang mubaligh yang sering merasa dihantui oleh seorang pembunuh, sementara pembantunya--santri yang sering membantunya, Yusuf--memberikan ending dengan menunjukan bahwa kematian mestipun tak diminta pasti akan datang menjemput siapa saja.

Cerpen dari Media Indonesia ini ternyata lebih mendoktrin tentang nilai-nilai humanitas kemanusiaan. Lebih menyadarkan dan mengutamakan misi pencerahan bagi pembacanya. Aku tidak tahu apakah karakter dari redaktur, Damhuri Muhammad, adalah seorang visonis ataupun bagaimana.

Untuk kedua cerpen minggu terakhir, aku menjawab hipotesas awalku. Bahwa, Damhuri lebih mengutamakan misi penyampaian gagasan-gagasan pencerahan untuk dapat ia loloskan kepada pembacanya.

Berbeda dengan Media Indonesia dengan Kompas. Seperti cerpen Yetti KA tadi, cerpen yang lebih aku nilai sebagai eksplorasi emosional dibandingkan pencerahan. Tampaknya, Kompas benar-benar lebih mengutamakan karakter dalam cerpen yang akan diterbitkannya. Gaya-gaya cerpen yang aku baca beberapa minggu ini, ternyata lebih memiliki gaya-gaya yang tidak umum aku temukan di cerpen-cerpen yang seirng aku baca. Gaya yang lebih menohok pada penjabaran naluri-naluri cerita, juga alur-alur yang lebih mengedepankan "bagaimana" dibandingkan "mengapa" dalam menjelaskan cerita-cerita. Bagaimana menjelaskan keadaan, bukan menjelaskan alasan-alasan. Alhasil, cerpen kompas menjadi koran yang semakin sulit ditembus dan ditebak minat redakturnya untuk mempublikasikan seluruh karya-karya kontributornya. Meski begitu, nama-nama besar cerpenis yang sering memunculkan karyanya juga sering dikatakan alasan terbesar redaktur meloloskan karya mereka terbit.


Indramayu, 31/05/2013


Opini ini pernah saya arsipkan di tahun 2013. Belum pernah saya publish ke publik dan tersimpan rapih di 'catatan' facebook.

Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Hakikat Menulis Cerpen Untuk Surat Kabar"