Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Epigonis Bagi Seorang yang Memulai Ingin Menjadi Penulis

Proses kreatif seorang penulis begitu beragam. Kadang ada yang membaca beberapa karya seseorang penulis ternama, lalu berhasrat ingin memulai kreatifnya menciptakan karya yang serupa. Mungkin tidak serupa persis namun dalam gaya dan pola yang sama.

Epigonis bagi penulis


Kadang juga penulis menemukan kesan yang teramat dalam batinnya lalu memulai untuk menjerang kata-katanya membentuk wacana. Ada juga dari sering berkorespondensi dengan beberapa teman, meminta saran dan kritik, serta memintakan pendapat tentang apa-apa yang ditulisnya juga merupakan arah yang mantap dari karakter tulisannya.

Baca juga: Hakikat Menulis Cerpen Untuk Surat Kabar

Proses menulis sendiri bagi diri penulis merupakan proses yang amat panjang. Butuh waktu untuk memahaminya untuk bisa dia jelaskan dengan mudah oleh pikirannya sendiri.

Kadang pula, pemahaman pada proses kepenulisan membuatnya semakin mantap bahwa kenyataannya pemahaman tentang proses menulis itu sendiri justru datang seiring munculnya gagasan untuk segera dia tuliskan.

Membaca dan membandingkan beberapa karya untuk bisa dijadikan refrensi dasar bagi penulis pemula sering dilakukan. Membaca karya teman lain, yang lebih mantap dalam berkarya tulis akan menjadikan dirinya termotivasi bahwa apa yang berhasil temannya tulis itu memantik kesadaran bahwa dia pun mampu untuk menuliskannya. Pemikiran susah untuk bisa menuliskan hal yang sejenis ini pun menjadikannya bertanya-tanya. Apa dan bagaimana menulis seperti yang temannya tulis itu?

Kegiatan membandingkan beberapa karya agar dapat merasakan gagasan-gagasan apa yang mampu dia ramu kembali membentuk wacana yang dia inginkan sudah tercetak dalam gambarannya. Ide-ide bergeliat di kepala, seakan memaksa keluar dan harus dituliskan. Pemikiran untuk menuliskannya dalam ragam bentuk tulisan membuat dia merasa sedikit gelimpungan. Alih-alih ingin mementaskan aksara-aksara itu mewakilkan gagasan-gagasan yang berkelindan di kepalanya, dia merasa tersekat kesulitan karena apa yang dia tulis tidak sepadan dengan apa yang dia pikirkan. Malah, lebih buruk dari apa yang dia gambarkan. Setelah itu dia kembali melongok dan membaca karya-karya yang sudah dia baca.

Apakah dan bagaiamana menuliskan gagasan yang punya taraf asosiasif serupa mampu dikancah dengan cara yang sama. Namun beda dan belum dia pahami prosesnya.

Epigonis dalam sebuah karya adalah sebuah proses peniruan gaya, cara, dan pola dalam berkarya. Gaya yang sering dia baca akan kentara bisa terlihat bagaimana mereka berkarya. Cara penyampaian seperti apa juga akan terasa penulis pemula ikuti. Di mulai dari alur pemaparan sampai dengan ending yang mengejutkan seperti apa yang dia inginkan seperti bahan bacaannya. Pola-pola dasar kepenulisan yang dia baca dia asumsikan sendiri untuk dia kembali susun, dijadikan amunisinya dalam meramu gagasan itu menjadi satu bentukan wacana sesuai karakternya.

Namun, sesekali lagi. Pemilihan proses kreatif penulis ternyata memang mengalami tahapan fase ini. Mengikuti beberapa gaya dari penulis lain dan kemudian berupaya melepaskan dari jeratan pengaruh penulis yang dia pernah titi dan gugu karyanya.

Menjadi seorang penulis pemula dengan karakter seperti penulis senior memang bukan hal yang haram. Bahkan pengakuan penulis sendiri sering pula mengikuti proses kreatif semacam ini. Sekaliber Putu Wijaya pun pernah mengaku pernah mengekor pada penulis favoritnya.

Namun, yang menjadi batasan bagi penulis yang mengalami fase ini adalah seberapa lama dia terus menerus mengekor gaya penulis yang dia ikuti itu. Jika terus-menerus mengekor pada karyanya, dan tidak berusaha mengeksplorasi gaya sesuai dengan karakternya akan membuatnya terjebak sendiri. Apakah dia benar-benar seorang penulis dengan karakternya sendiri ataukah dia mengingkan terperangkap oleh pengaruh penulis-penulis yang dia kagumi saja.

Perkembangan dunia literasi, khususnya dunia sastra semakin terus meningkat. Beberapa nama penulis pemula semakin mewarnai kancah kesustraan di negeri ini. Pun, beberapa penulis yang sudah lama menduduki dan terus eksistensi dalam berkarya pun turut senang.

Namun, ada beberapa yang mengkhawatirkan mengenai perkembangan sastra itu sendiri. S Prasetyo Utomo pernah menuliskan bahwa cerpenis dapat dikategorikan dalam 3 karakter. Salah satu karakter yang dapat membawa perkembangan cerpen di masa mendatang adalah "cerpenis yang ingin mencipta cerpen yang mencitrakan gelora eksplorasi  struktur narasi dan tema, dengan kegigihan untuk menemukan gaya  bercerita yang berbeda dari para cerpenis ternama. Cerpen-cerpen serupa  ini, tentu, memberi harapan akan perkembangan cerpen di masa mendatang,  dengan kekuatan obsesi akan lahirnya generasi baru cerpenis Indonesia.  Kekuatan fantasi, kehendak untuk membongkar struktur cerita, menyajikan  kisah yang memperkaya batin pembaca, menjadi obsesi penciptaan cerpenis." (Suara Merdeka, 26 Mei 2013).

Gelora dalam bereksplorasi struktur narasi dan tema, dengan kegigihan menciptakan gaya bercerita yang berbeda dari para cerepnis ternama adalah salah satu kunci yang diberikan tanda-tanda oleh seorang dosen IKIP UNNES tersebut.

Penilaian ini memang sarat manfaat bagi penulis pemula. Meramu pengetahuan dari apa yang dia ikuti dari penulis-penulis ternama akan membawa diri karakter tulisannya untuk menghasilkan hal-hal yang baru dalam dunia sastra, khususnya prosa cerpen.

Lantas, seperti apakah mengeksplorasi struktur narasi dan tema dan tema seperti yang dituliskan S. Prasetyo Utomo tersebut?

Inilah yang menjadi PR bagi para penulis pemula bahwa jawaban itu dapat ditemukan sendiri oleh para penulis. Gaya dalam bahasa terutama dalam memaparkan gagasan di kepalanya dalam bentuk tulisan tentu menjadi sesuatu hal yang unik. Mengingat setiap individu penulis memiliki karkaternya dalam berkarya. Proses menulis inilah yang akan menjerang pemahamannya selama ia dapat memahami bahwa struktur tulisan yang dia kembangkan sendiri akan semakin membuatnya mantap, namun itu akan disadari sebagai sebuah yang membuatnya tersadarkan.

Kesadaran untuk mengukur kemampuan dalam mengeksplorasi struktur narasi untuk menghasilkan eksistensinya dalam berkarya. Bahkan, ketika  eksistensi bagian dari karya. Maka sesungguhnya kita telah menciptakan  diri sendiri. Namun, cara yang tepat untuk mengetahui kapasitas diri,  ternyata bukan mengukur kemampuan, melainkan sejauh mana kebodohan dalam  diri kita. *)

*Di ambil dari berbagai sumber
*Catatan ini pernah dipublikasikan di Catatan Facebook pribadi dengan judul: Epigonis Bagi Seorang yang Memulai Memijakkan Kakinya pada Tangga Penulis. Dipublish tanggal 27 Mei 2013
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Epigonis Bagi Seorang yang Memulai Ingin Menjadi Penulis"