Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Catatan Kerinduan (catatan sebelum mengkhitbah isteriku, hehehe)

Kita masih menunggu masa baskara terbit di ufuk timur sana. Melepas jerat gelap dari rindu yang membekap. Kita tidak sedang dibui mimpi ataupun harap, tapi kita menunggu saat tahajud kembali fajar tersibak: kembali menikmati aroma embun pada sepelupuk netra yang masih menggelayut lelap.

Aku mengajakmu bertikai dalam rindu yang berkecamuk selalu. Sekarang ini kita sedang berkisah seru. Ada degap jantung yang bertalu-talu memainkan pertikaiannya sendiri. Silakan dedah biar tak terselip pandangan yang berselimut. Lalu tak tampak kejujuran yang terang. Maka mata batin seakan tajam menyayat. Aku memintamu melerai yang kabut itu. Ubahlah menjadi kedamaian.

Pun bila purnama tak cukup membantu terang, aku pinjami suluh yang terbit dari pencahayaan hati. Terselip di sana ada api dari bahan bakar nurani. Mungkin cukup untuk mengantarkan kita menjemput pagi. Mungkin juga akan lekas serap kala api benar-benar membeludak. Kita ciptakan api besar, padahal cukup sekelumit terang saja mampu merampok gelap untuk mencari apa yang kita harap. Sebesar beludakan api itu, tersirat pekikan napsu menjerat. Sungguh, aku memiskin diri atas sisa-sisa kekayaan suluhku. Cukup perantaraan itu, aku hendak mengajakmu menerangkan segala yang terlelap di rahim gelap hatiku.

Namun sebelum itu, akan aku ceritakan mengapakah sosokmu kuundang dalam kidung kerinduan ini. Jujur, aku tidak pernah mengundang sesiapapun untuk menjadi tamu dalam ruang hatiku. Sebab aku masih petaka dan malu. Betapa malang nasib penyesalan yang telah merundung tangis atas segala nikmat yang belum aku jawab. Dan kehadiranmu mampu menghadirkan jawaban mantap. Apa jadinya bila aku tak bersiap menjamu tamu hatiku. Aku kembali dalam ruang dekap, menengadah harap pada malam yang membekap. Bilangan istikharah, malam memilih. Aku membuka ketukan sambutmu. Dan  aku ... mantap menyajikanmu menjadi ratu di singgasana ruang hati.

Maaf, bila pepuji ini terlalu meninggi. Tak bisa kuutarakan yang lebih mantap dari kesederhanaan kata-kata ini. Telah langitkah rasa rindu ini hingga aku harus menggantung bintik-bintik serupa bintang membentuk sabitah rindu. Pijakku di bumi, telah tak cukup menghampar pengertian-pengertian makna rindu. Semuanya tercecar menyemai pandang. Saat itu, maka apa yang terlihat netra serupa adamu. Yang kudengar, bisik sayu mesramu. Yang kusentuh, lembut erat genggammu. Dan segala puji, tak mungkin bersemat dalam diri dan jagat raya ini. Maka, pepuji ini kekumbalikan pada Dzat Segala Maha Puji Rabb-ku. Kalian tahu? Setapak inilah derajatku sungguh mencium kerendahanku sebagai mahluk-Nya.

Kekasih, pernahkah kita mengutip satu lirik milik penyair. Cinta itu ruang dan waktu, katanya. Entah sedang berpuisi atau bertata kata penyair itu; aku tak peduli. Sebatas peduliku menggenggam kecamuk yang ada saat ini. Saat kita sedang mengecamuk pertikaian rasa di dada kita masing-masing. Kita mafhum, sebenarnya kita berada di ruang sama dan waktu yang kembar pula. Lantas, mengapa kita mengibarkan pertanyaan jarak yang jauh dan waktu yang lekas luruh? Itikadku, aku sudah memenatkan segala ruang menjadi satu dan waktu menjadi restu pula.

Aku tidak punya serupa makna yang pantas untuk mencari padanan kata yang sederhana dari penyampaian rasa ini kepada pembaca. Sampai pada ketikan alfabetis kata ini pun begitu lekas saja tanpa memikirkan apa dayaku menyajikan ungkapan rasa yang tercipta. Suluhku yang kaugenggam telah menerangkan bagaimana usahaku menerangkan peradaban restu itu kembali meminang ikatan satu. Tidakkah ini seperti picisan? Aku tetap tidak peduli. Inilah ungkap yang menimpaku dan sering kambuh menahan rasa ngilu di hatiku. Saat penyematan namamu--saat kumantap nama itu adalah isyarat istikharahku--sungguh aku merasa ada keringanan dalam mengindap sayat-sayat rindu.

Sungguh, aku tidak punya kemaharian apapun meramu diksi-diksi jentayu. Serupa penyair sastrawan yang melepas ambigu. Rasaku terlalu melebur menjadi kemantapan tulisan ini. Kala malam menyelimuti kelamnya, cobalah temukan isyarat apa yang tersirat di rahim kata-kataku ini. Melamuni harapku, aku menyarung doa dalam bait renjana.

Tunduklah pada penjerangan takdir ilahiyah kita. Kita hanya sepasang lakon kekasih yang sedang mengutarakan pertikaian makna yang sedang mencebur di samudera hati. Aku tidak memilih tempat atau ruang mana, pula waktu yang tepat apa. Aku bergaris pada ikhtiar yang lurus begitu saja. Lurus mantapku membuka buta mata nurani. Ini kisah Rabbku yang melariskan kata-kata syahdu di catatan ini. Siapa yang sedang aku adu untuk membandingkan kata-kata syahdu-Nya? Sementara ini terlalu dini aku ungkap, tapi semuanya terlalu berlari jauh di depan langkahku. Maka, aku hanya butuh kepakan sayap-sayap rindumu untuk menyalip sejajar harapku: padamu.

Ada lamunan panjang yang ingin aku semai di ladang masa datang. Bahwa aku hanya pelaku kezaliman diri. Betapa aku terlalu serakah menungku resah. Padahal mesti, tidaklah ada keragu-raguan hati bila menghadirkan Rabb kita di sisi hati. Rabb kita lebih dekat dari kita yang mengeja jarak. Rabb kita lebih lekas dari waktu yang kita sengaja gegas. Bila begini, aku sudah tak tampak kepongahanku. Sebab kutitipkan segala Rahmat-Nya pada peradilan ruang dan waktu-Nya. Aku selalu begitu, kekasih. Maafkan aku. Aku hanya ingin meleburkan hasrat satu itu dalam sesuci malam yang terus memebelenggu.

Jauh dari sini, aku selalu berbisik pada telisik. Kita mantap mengeja sisa malam yang berpamit. Kita akan menyaksikan sendiri baskara yang telah menuntut kita menghirup embun segar pengisi hari-hari. Kala dhuha menyungging terang, kita akan turut menyinggung jerang. Di sanalah ejaan harap mengukir di kanvas ruang serta waktu yang tuang. Apakah kita sanggup menuangkan segala yang termaktab di mahabah ridha-Nya atau kita sedang membuang kesempatan yang terlepas dari sematan harap yang kita tunggu masa panennya. Saat itu, aku hanya mengabarkan telah kautemukan apa dari makna yang mantap dari tulisan ini.

Lalu pada mimpi yang sedang berselimut, biar ia tenang. Sebab pertengahan malam masih menghitung bilangan jam. Ia akan bertemu dan berpamit untuk datang di restu Rabb untuk kembali bertandang dalam lakon kenyataan kita. Saat itu, kita akan lekas menggenggam syah menyaksikan haru langit yang terbias memesra keadaan kita. Percayalah, saat itu kita adalah sepasang kekasih yang sedang dimanja nikmat alam.

Terpantik nasihat mengacu. Mengusulkan kemantapan syahdu. Bahwa kita sedang mengeja isyarat-isyarat ayat Rabb-ku. Aku pikir ini tidaklah berlebihan, sebab kita menjerang mula-mula pula menggaris pada pijakan mulia. Meski ada kecam, aku tegaskan lantang: Kita mengerat dalam nasihat-menasihati kebenaran juga kesabaran kita. Pula bila khianat, lekas buru dan bunuh sifat khianatnya. Itu prolog yang mesti kita hapus kala kita akan melanjutkan kisah yang terus melajukan arah kita meluruh.

Dan jangan mengira, meski bungkam tiada kata-kata, aku tidak memungut serpihan nasihat dari bergemingnya suara. Selama itikad itu melekat, pastilah mana cerita mampu menjadikan ibrah bagi kita yang menetap jarang nasihat. Maaf, bila kucuri setiap kebaikanmu agar turut bersemat di tingkah lampahku. Maaf!

Inilah kerinduanku pada pagi yang ingin menjemputmu. Lekas pada tatapan adu, apakah kita lulus menguji ruang dan waktu. Serta memantap istikharah yang sedang kita aju. sebetapapun kelak itu, aku memasrahkan segalanya pada jalinan waktu yang memintal kisah kita. Dan aku, meyakini Rabbku menyaksikan ini. Serupa aku menyaksikan doaku mengiringi kisah kita tetap berpadu. Melesatkan segala arah yang tuju, tetap Rabb kita menjadi arah muara kita melarungkan waktu. Di situlah ruang yang kita tuju sebagai persinggahan mengisi detik sejarah syahdu.

Cukup! Aku tidak mau kata-kata ini meracuni bilangan kaku. Sebab tulisan ini mungkin kita saja yang mampu memahaminya. Biar yang tersurat adanya kalimat ambigu, kelak akan menuangkan ceritanya sendiri. Itulah penilaian mereka, sebab apapun, penilian kita hanya berstandar dari restu yang mengeja kemaharupaan rahmat-Nya yang berlaku: Untuk kita sudah pasti tentu.

Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Catatan Kerinduan (catatan sebelum mengkhitbah isteriku, hehehe)"