Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen: Saksikanlah aku, Bu! Aku berdiri di sini dengan seragam togaku

Aku turun selepas sambutan yang aku bawa sebagai perwakilan wisuda. Seragam menempel pada kebesaran tubuh kami yang telah rampungkan masa-masa belajar di sekolah tinggi. Aku dan beberapa temanku sering melempar harapan di manakah nantinya kita akan bertemu kembali. Jawabannya dengan beberapa pengharapan agar suatu masa kami dapat bertemu dan mengenang masa-masa kuliah di sini.

Cerpen Syahandrian Eda


Namun, di samping harapan yang selalu kami jajakan kepada teman-temanku yang entah terwujud kapan, aku menunggu ibuku datang menjemputku lalu berdiri di sampingku dan mengabadikannya dalam bingkaian jepertan tustel. Foto  itu nantinya akan kami pajang besar-besar melengkapi foto keluarga di kamar tamu rumahku. Sayangnya, hampir acara ini rampung, ibuku belum hadir juga.

Aku  ingat ketika beliau melepaskan aku untuk pertama kalinya. Senang bercampur sedih ketika mengantarkan aku keluar rumah. Katanya, "Kamu harus benar-benar serius mengejar cita-citamu itu, Nak. Jangan pikirkan ibu nanti ketika Kau menuntut ilmu." Maka sederati butiran air mata haru melinang di pipi ibu. Aku  ingin memeluknya saat itu, sayangnya beliau menapik. Ibu minta aku bersegara berangkat karena kereta yang aku tumpangi itu bisa terlambat.

Aku  tahu aku begitu terlambat memberi kabar ibu bawa aku sudah lulus dari universitas favoritku. Cita-cita yang selalu aku ingin buktikan tatkala orang lain begitu gagu untuk mewujudkannya. Bagiamanapun aku tidak mau teracuni pemikiran kolot bahwa ijazah kuliah tidak menjamin kehidupan mapan seorang anak. Lebih-lebih, ibuku hanya seorang penjual jamu gendong. Cibiran dan sindiran bisa saja membuat hidup ibu sepeninggalku di kampung putus asa. Dan itu terbukti, ketika beliau sering kali memintaku pulang ketika telpon mengabarinya tidak mampu memberiku biaya hidup di Jakarta.

Sungguhpun aku tidak ingin membebani ibu. Aku  meyakini usahaku yang jerih. Aku tidak peduli pada harga diri yang seriing mencerca bahwa aku ini adalah mahasiswa. Demi menyambung hidup dan mimpi, aku sudi memungut sampah dan mengumpulkannya menjadi barang jadi yang entah didaur ulang menjadi apa. Aku hanya pemulung yang kemudian dijual perkilonya dengan upah yang kubutuhkan menyambung hidup. Kadang pula aku mencuci pakaian teman-teman demi upah sesuap nasi bungkus yang aku makan menambal rasa lapar setiap saat. Tapi, semua yang aku lakukan itu, ibu tidak pernah tahu dan aku tidak mau sampai ibu mengetahuinya.

Kami berdiri, menanti urutan nama kami dipanggil rektor. Menyaksikan anaknya ini disebut ke depan pada ritual pemindahan bandul di topi toga: Tentu menjadi syarat haru. Aku masih menunggu ibu. Aku tahu ibu pasti datang, aku minta Awang—pamanku-- agar mengantar ibu sampai ketempat wisuda. Biaya ibu nanti aku ganti di sini, yang penting bagiku adalah kehadirannya di sini. Begituulah mintaku pada Awang seminggu sebelum acara ini tergelar

Nama-nama lulusan dibacakan dengan lantang. Sepertinya deretan nama yang disebut itu dari fakultas lain. Aku kenal Rahmadi Jayadhipa, nama yang baru saja disebut. Disusul temannya, yang juga aku kenal sering bersama Rahmadi. Nama selanjutnya memang dari teman-teman fakultas Rahmadi. Aku sering melongok ke pintu masuk, mungkinkah ada orang yang aku kenal darikampung. Awang, atau siapalah yang mengantarkan ibu menyaksikan namaku disebut ke depan podium.

Setengah jam kemudian, nama dari temanku yang satu fakultas disebut. Degup jantungku mengencang. Keringatku memeras. Seorang teman menyadarkanku, “Kamu kenapa Riyan? Kamu gugup?”

Aku menggeleng, tertunduk, lalu mengatur ketenanganku agar tak terbaca kegelisahanku. Sesekali aku melongok pintu itu. Tidak ada wajah yang aku kenal. Aku lempar senyum kepada temanku itu. “Kamu datang bersama keluargamu?”

Dia pun tersenyum, dia menunjukkan ke arah orang tuanya. Di sana ada senyum bahagia dari seseorang yang duduk di barisan orang tua. Aku begitu senang padanya. Sungguh, bila ibu pun duduk di sana, bersama orang tua kami. Aku sungguh merasa duniaku penuh dengan rasa bangga. Sayangnya, sampai lima belas menit berlalu tidak ada ssama sekali wajah yang aku kenal dari kampung.

Mungkin aku harus merelakan bahwa acara yang sungguh membuatku merasa memiliki sejarah ini tidak dihadiri oleh ibuku. Aku hanya ingin membuktikan bahwa keinginan almarhum ayah terwujud di sini. Di tempat ini. Meski kadang ibu selalu menggeleng-gelengkan kepala bercampur tangisnya mengenang almarhum. Kuyakinakn itu bahwa aku sanggup membuatnya tersenyum melihat anaknya sanggup menyemat gelar keserjanaan. Dan itu, kuyakinkan ibu sebelum keberangkatanku.

Sebentar lagi namaku disebut. Aku harus bersiap-siap. Berdiri, lalu menanti giliranku. Aku yakinkan bahwa ibu memang tidak bisa menghadiri. Kuyakinkan pula bahwa aku harus tersenyum, mungkin saja ibu berhalangan. Maka keberanianku, kegelishanku, aku hampas pada setarikan napas. Meski rasa rindu pada ibu itu menggelayuti, aku yakinkan itu.

“Riyan Sutama!”

Namaku menggema, suara yang didengunakan pengeras suara itu memanggilku. Aku tegarkan. Aku yakinkan. Aku yakin ibu menyaksikan aku disebut. Entah pada tempat mana beliau berada. Entah kekuatan apa yang menyengatku, aku menyaksikan ayahku berada di pojokan ruangan itu. Pun ibuku, orang tuaku melempar senyum. Mereka tersenyum, wajahnya begitu tenang dan senang. Kenapa ada bayangan ayah bersama ibu?

Aku berhenti melangkah, aku memastikan kehadiran ayah dan ibuku. Di pojok ruangan itu. Benar-benar mereka berdua hadir.

“Riyan Sutama!”

Buyar lamunanku melanjutkan langkahku. Menyalami rektor dan menerima segulung ijazah, kemudian bandul toga dipindahkan. Aku sbahagia akhirnya ibu datang, meski hal lain menjanggal di hati.

Aku keluar dari ruang itu kemudian mencari sosok ibu. Bersama ayah? Tidak mungkin. Aku cari hingga kupastikan wajah-wajah yang selalu kucurigai itu ibu. Nihil. Tak ada sosok ibu. Belum yakin, aku seperti kecemasan sendiri. Berlari ke sana ke mari mencari sosoknya. Entah berapa lama aku mengitari ruang acara ini. Aku tak dapati siapapun sampai aku lemah, aku pasrah. Tubuhku aku sandarkan pada bangku yang tergelatk di ruangan sana.

“Riyan!”

Suara itu ...

“Awang?”

Awang datang. Tapi mengapa seorang diri? Dia tersenyum mendekati aku. Lalu duduk, sembari menepuk pundakku.

“Kamu hebat Awang. Ibumu pasti bangga. Maaf, Ibumu tidak bisa menengokmu pada hari bersejarahmu itu. Dia hanya menitipkan surat ini untuk aku antar saat acara wisudamu berlangsung.”
Surat itu aku gelar lekas-lekas. Mungkinkah ibu ...

-------------------------------------------------
Riyan ...
Ibu tahu kamu pasti bisa meyakinkan dunia bahwa kamu mampu. Ibu tahu kamu pasti sanggup membuktikan cita-citamu dan membuktikan bahwa pesan ayahmu sanggup.
Namun, maaf, Nak. Seandainya surat ini sampai kepadamu, Berarti ibu belum sembuh juga dari sakit ibu. Atau mungkin ..., ibu akan menyusul ayahmu.
Semalam ibu bermimpi, ayahmu menjemput ibu. Ibu kangen sama ayahmu, Nak. Ibu sampaikan salammu dan harapanmu bahwa kamu sungguh-sungguh mewujudkan cita-citamu. Dan itu ibu aku minta Awang menuliskannya.
Ibu bangga padamu, Nak... Selalu bangga!
---------------------------------------------- --


Aku melipat kertas itu, Menatap tajam kepada Awang, “Di mana ibu, Awang? Di mana?”

“Maaf, Yan. Ibumu ... “

“Apa, Awang!? Ibu kenapa?”

“Sehari sebelum kepulangannya, ibumu memintaku untuk menuliskan surat ini untukmu. Aku sempat menolak dan berharap ibumu saja yang menyampaikannya. Tapi ia memaksa. Aku menuliskan surat ini di samping bangsalnya. Sehari kemudian, ibumu ...,” Isakan Awan melahirkan lelehan mata di pipiku. Aku ...

Duniaku tertutup awan duka di hari yang cerah. Ibu, aku tahu aku terlambat menyampaikannya. Bahwa aku telah lulus menjadi orang yang pertama. Aku Cummlaude, Bu. Aku orang yang telah berhasil memiliki nilai tinggi, dan itu aku ingin ibu menyaksikan aku—anakmu.

Awan cerah bagiku gelap, mendungku pecah. Ditipkan mata yang mengalir gerimis. Merindukan ibu di sini.

Indramayu, 16 Maret 2013
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Cerpen: Saksikanlah aku, Bu! Aku berdiri di sini dengan seragam togaku"