Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengeja Musim

Tahun anyar, tahun 2014 aku bernapas. Menghela dan menghirup napas untuk tahun selanjutnya. Banyak catatan musim yang tersimpan dalam kata. Lalu mengendap di sekujur kalimat dan terdampar di kepala. Bisakah ujung dari segala isiannya mampu dibaca dan diungkapkan sebagai satu-satunya cara bercerita.

Mengeja musim ini seumpama mengeja kenangan yang dibawakan hujan. Kadang ricisannya yang menyerbu bumi ini mengiris-iris setiap tetes cerita. Kisah yang memburu, cerita yang tergebu, sejarah yang membatu, semuanya akan kembali dieja oleh musimnya sendiri.

Berkatalah musim, "Pantaskah aku becerita?"

Saya mengendus adanya kegelisahan pada suaranya yang parau. Persis desis pada mendung kelabu di atas langit yang menungku. Saya tercekat.

"Banyak cerita yang terjadi selama musim kemarin. Segalanya tersimpan rapih. Tinggal sesiapa yang mau memintanya, kami akan menghadiahkannya dengan percuma. Gratis!"

Dari sini, kepala saya berkecamuk. Ingin rasanya mengacungkan tangan seperti anak sekolah yang ingin menjawab pertanyaan sang guru, begitu mudah. Padahal musim tidak sedang ingin meminta jawaban, ialah malah diminta untuk meminta musim cerita apa saja.

"Aku ingin cerita, aku ingin cerita!"

Wajah beringas jagat kala itu semakin suram. Mendung semula kelabu, lamat-lamat menghitam dan menakutkan.

"Untuk apa kamu ingin cerita padaku (Musim)?" tanyanya.

"Hmmm...," aku memikirkan jawaban dan di kepalaku sedang memilah jawaban. Rasanya banyak yang mesti dipilih sebagai jawaban. "Aku ingin kembali bercerita."

"Cerita dari ceritaku? Kepada siapa Kau ceritakan ceritaku itu?"

Skak Matt! Mati aku! Masa aku akan memberitahukannya bahwa ceritanya akan aku kirimkan ke koran-koran lalu seandainya terbit  itu, aku akan menagih redakturnya mengenai honor penerbitan cerita itu? Ah, aku gugup menjawab pertanyaannya.

"Cerita macam apa yang Kau ingin simak? Bukankah Kau sendiri punya banyak cerita. Mengapa Kau memintaku becerita?"

Aku bungkam. Memikirkan pertanyaannya untukku itu. Seandainya memang jawaban ini ada dalam kepalaku, mungkin terselip di celah otak bagian mana? Kenangankah? Ingatankah? Semuanya coba aku tawar untuk menggenang di pikiranku. Barangkali benar ajakan Musim ini, pertanyaan itu ada jawabannya di kepalaku.

"Mengapa Kau masih terdiam? 'Pantaskah aku bercerita?' adalah ajakanku padamu. Mengapa Kau mengundang aku lewat mendung yang Kaukirimkan. Padahal Kau sendiri bisa bercerita. Sanggupnya Kau ceritakan padaku--Musim-- tentang cerita. Bukan Kau meminta cerita itu padaku.

Aku bingung!

"Tapi ..., bukankah tadi Kau ...?" tanyaku.

Lalu hujan. Gerimis datang kembali menambah kapasitas ricis. Kemudian lebat, angin pun menyerbu. Pepohon yang bersorak-sorak karena hujan malah seperti ketakutakan. Takut kalau-kalau angin mencabut akarnya lalu tumbang menyisakan rebah.

Aku sendiri yang berdiri di sini menatap dengan tatapan kosong. Mengeja musim pantasnya mengeja cerita-cerita yang telah lalu. Tentang hujan, angin, mendung, langit biru, tanah, dan semuanya yang akan mengeja cerita. Musim hanya mengeja setiap rangkaiannya saja. Dan percakapan dengan musim itu terjadi hanya di kepalaku saja.

Semoga hujan bukan bertanda cerita tangis!
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Mengeja Musim"