Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berpuisilah, sebab dunia sudah berpuisi untukmu

Semusim lalu, napas angin mengabari rerimbunan dedaunan. Tentang kamu, mereka membawa kabar. Syahdan mereka--para angin-angin itu--sudah membekas dalam ingatannya. Bahwalah kamu bukan seorang yang bungkam. Suka diam, bergeming, memaku hening. Ialah telah terserak di antara riak-riak daun yang bergejolak akibat diadu-domba angin agar ricuh bersigesekan. Mereka tahu kamu adalah bagian dari pelantun puisinya.
Sadarkah, semasa itu, lidahmu menyaru ungkapan-ungkapan halal dari mereka--dedaunan dan sejenisnya. Keluh mereka titipkan pada desis kata-katamu. Jerit mereka telah bersorak pada luapan sekarat serapahmu. Kadang pula permainan syahdu mulai mendendang seru tatkala kamu memainkan sair-sair beritme melankolis. Semilir angin berbisik tentang kedamaian. Maka bila sampai tahap ini, sepoi-sepoi yang menyihir mahluk bernyawa mulai lupa. Lalu datanglah mimpi menghanyutkan kesadaran di selaput mata.
Bermimpi ibarat sesuatu yang masih ada kandungannya dalam mencari arti. Setiap makna terlahir dari benak-benak mimpi. Kadang musykil diceritakan kembali, kadang pula mustahil diterjemahkan kembali. Rerasa kalbu saja yang berpesta dan berkeasyikan sendiri mengindap penyakit menggilai. Gejalanya? Bagi yang merasakan ini akan berasa seperti berada di kesendirian dan tanpa gangguan-gangguan macam manapun yang lahir dari kebiadaban moral. Sampai di sini, bermimpi adalah hal yang pasti. Semua mengharapkan mimpi indah akan mewujud nyata. Sebaliknya mimpi buruk, haruslah berkesudah dan lenyap begitu saja. Nyata tak demikian, serupa mimpi apapun tetaplah mimpi. Tak terbilang sebagai ciptaaan suasanya nyata. Mimpi-mimpi itu hanya potongan babak yang dipertontonkan sebagai penghibur manusia. Dan keasyikan itu diciptakan dalam pejaman tidurnya manusia. Ketika terjaga, mereka tahu bahwa masih ada makna yang mesti dicari artinya dalam setiap mimpi.
Tidaklah dulu nalar membandingkan dan beradu. Bertanding satu lawan satu seperti sabung tinju. Siapa yang menang dialah yang akan diacungkan lengannya oleh si tukang adu. Penonton bersorak dan saling menepuk telapak tangannya mengundang suara gaduh yang seru.
Dengarkan saja desis angin, jika kamu masih merasa menjadi tuli. Desisnya akan menyapa kamulah adalah penyair yang membuang nama. Puisi yang memulung kata. Sebutan pantas manapun boleh jadi acuan juga ancaman. Semuskil apapun sang penyair membalut wajah mereka dengan kepalsuan. Tetap kata-kata yang dia laharikan akan tersedak. Lalu orang-orang mulai membaca tanda-tandany. sang penyair sedang sakit. Tetapi dia menyembunyikannya.
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Berpuisilah, sebab dunia sudah berpuisi untukmu"