Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pada Mesti, Harusnya Kau Meniadakan Sunyi

Pada mesti, harusnya tidak Kau Meniadakan Sunyi


Malam, semoga tak melabirin, begini menggusarkan sepi. Tak ada lagi koor-koor serangga mengerik. Tidak juga dingin mendengus dedaunan yang terlelap itu. Apalagi bulan merasa segan bertandang. Bumi becek diludahi hujan. Pasti tiada pula kawan bertandang, bukan.

Namun, apa itu yang menghujat sepimu? Tidakkah? Ah, serupa pertikaian dalam diri saja kita menggelanggang percikan amarah. Lalu dibiarkan saja beradu tanpa pernah memiliki aturan waktu. Bisa saja salah satu di antaranya menuntut untuk selalu disinggung, tetapi saja. Tidak akan kita jemputi makna angin yang selalu membisikan helaian rambut-rambut panjang bidadari khayangan.

Kaukah itu, Malam. Serupa jelmaan kesepian dan kesunyian. Mengurung setiap bisikan, setiap ocehan, omelan, nyinyir, getir, petir. Kaukah yang menghalang gelegar setiap pertanda hujan mulai menggerayang alam?

Malam, ada kabar apa hingga kita terperangkap dalam diam. Bisakah kita obrolkan tentang kehidupan? Tapi tidak masa-masa silam. Kita obrolkan saja apa-apa yang sudah diterjang peradaban. Lalu sejarah mendikte setiap jelmaan sunyi. Apakah ada tawanan yang berhasil kabur lalu ia kembali meneror setiap apa saja yang ada dalam pelukanmu. Kemudian, akibat ulahmu itu, mereka memberontak. Membayar malam dengan harga murahnya dengan mengaduh, gaduh, ricuh, kisruh. Kadang bisik itu menyaru hasrat. Membuat makar pada sekat-sekat yang kau buat. Kemudian, setiap kerat, setiap gerat, setiap jerat, membuat bising mulai bertindak keparat. Bahkan gelegar yang kauumpat itu pun hampir membuatnya tertilap. Tertimbun oleh kebisingan orang-orang yang berpesta di taman jagatmu yang bersemedi.

Malam, kini tinggalkan saja suatu pesan. Kirimi hujan, atau halilintar saja sekalian. Jangan ada pertanda apapun dan isyarat apapun. Turunkan saja perintahmu, "Kun!" Maka gertak membuat jantung-jantung berdetak itu terpasung. Menghamburkan serupa kapas-kapas yang dihambur-hamburkan angin.

Pernah kau lihat mereka yang terlelap? Kunjungi saja. Apa dalam setiap lelapnya itu membuat jejak. Jejak yang ditinggalkan pada jalan-jalan basah. Susah terbaca kecuali dalam arti yang sepi. Menengoknya kemana jalan itu menyembunyikan langkah-langkah yang tertinggal. Dalam perjalanan mereka itu--mereka yang terlelap--masih mengepung mimpi. Bukan mimpi yang mengepung mereka, tapi merekalah yang mengepungnya. Kau paham itu, kan?

Apa ada setiap yang terbaca itu memiliki makna, Malam? Pasti kau juga mengambil prasyarat. Apa saja yang termaktab dalam sejarah-sejarah yang lalu. Kemudian setiap embun akan kembali bercerita, "Malam akan kalap bila kita tidak meninggalkan jejak."

Malam, kita bercengkrama saja sedari tadi. Tanpa kausuguhi secangkir bintang yang rasanya berkedip-kedip itu. Kita aduk dan kita campur-bauri saja dengan sunyi. Kita akan merasa ini adalah milik kita, bukan? Tapi tak apa bila kau tak sudi menyajikannya. Sebab mana mau kau berpesta teguk dengan temanmu yang 'mbeling' ini. Berceloteh tanpa pernah menyetujui kau pun membalas ungkap-ungkap.

Maka, Malam, bilamana hujanmu meradang. Kabarkan dan guyur saja kepada mereka yang meniadakan sepi. Seperti pada sesuatu yang mesti, mengapa tiada kau meniadakan sepi.
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Pada Mesti, Harusnya Kau Meniadakan Sunyi"