Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fiksi (Mungkin): Persembahan Sunyi

Saat bintang mulai berserakan di langit, saat itulah kenangan itu muncul. Genit gemintang di lukisan malam itu mengajak Leonard melenggak-lenggokan kenangan. Barangkali gemulainya perasaan saat dulu itu ia masih sanggup mengikuti ritmis asmaranya yang ada. Sejarah yang kadang membuatnya merasa ada luka yang belum terobati sampai sembuhnya.

Ya, ia memang selalu berkisah pada bintang. Selalu mengajak bercengkrama dalam kesunyian. Sesekali ia menghirup aroma persetubuhan rumput di taman itu yang sudah lelah menyadap birahi dari sekuntum langit yang mengatup. Anakan semburat yang lahir dari selangkangan jagat. Lahir sungsang dan alam memberinya panggilan: Rembulan.

Ah, andaikan pada perseteruan yang mustahil dulu, Leonard masih bisa bercumbu. namun perpisahan memang sedang berbicara pada lain waktu. Kegelisahannya pada asmara yang telah tunggu, telah membuat segalanya jadi ternag-terang membakar malamnya itu. Hingga kini, Leonard mengenangnya di sini. Di taman yang masih sudi mempersilakan tubuhnya merebah.

Lihatlah, mungkin bila bintang-bintang berjenis kelamin. Barangkali mereka sedang asik menceritakan kemesraan mereka. Tentang pasangan-pasangan mereka. Lalu mencoba mengadukan kepada alam bahwa tidak selayaknya orang semacam Leonard diajak dalam barisannya.

Namun, bila runut diambil kisahnya. Leonard bagian dari bintang. Bukan lantaran ia mengajak bintang jadi perbendaharaan curahan. Melainkan lebih dari itu. Karena masa lalu, Leonard pantas juga layak bagian dari padanya. Leonard tidak lagi memiliki hati yang utuh. Hatinya luluh berserakan dan entah kemana bertebaran. Yang ada rerebahannya itu, Leonard mengajak sepi. Seorang diri dan mulai mencengkramai tentang dirinya sendiri dan kekasihnya: Mariana.

Oh, andai mengenang kisah-kisah syahdu. Bikin cemburu saja gemintang yang genit itu. Desis anginpun serasa menyoraki, dedaunan yang melambai seakan menyapa, bilakah sepasang kemesraan kini diterjang badai kemaslahatan. Lalu ditemani duka-duka bagi lelaki kesepian.

Kenangan itu, ya... kenangan yang telah membuat segalanya jadi temaram. Lamat-lamat cahaya melarat turut melindap dan jadi gelap gulita. Malam tertutup dan berkabut. Awan yang sedang menampung air mata kesedihan Leonard berarak menutupi pseluruh rebahan Leonard. Alam mungkin saja sedang mengadakan upacaranya. Ia sedang meritual sepi dan menyerimpi tarian-tarian sunyi. Lalu mereka pun berusaha menahan bendungan luka-luka yang tak tertahan dari pelupuk duka Leonard. Tangisnya akan pecah membelah isyarat-isyarat hujan. Hatinya tidak lagi kering, kenangan pahitnya membising. Menyoraki, menepuki bak dagelan-dagelan satire yang memperolok-olok hati Leonard.

Akan tetapi, Alam sedang berbaik hati. Leonard selalu setia memanggang langitnya. Ia selalu menunggu langiat masak dari pertungkuan malamnya. Dan .... benar saja! Langit semakin matang. Legam. Arakan mendung bubar mengikuti keserakahan alam di tempat lain. Saat itu, Leonard mengerti. Mungkin inilah persembahan sunyi itu.
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Fiksi (Mungkin): Persembahan Sunyi"