Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita dari Lorong

Tanah masih beraroma gersang. Sisa hangat pagi kini enggan redam. Malah semakin bergejolak saja mempertungku panasnya. Belum lagi, baskara sedang terik-teriknya. Lana masih bertelanjang kaki, mengayuh kakinya dan berlari. Tubuhnya membawa cemas yang memberinya kekuatan untuk terus menempuh jalanan panjang. Menuju rumah Bi Dumi.

Lana menyusuri jalan itu seperti beradu lesat dengan seekor kuda. Napasnya tersengal-sengal mengeja setiap keresahannya. Ada tidaknya Bi Dumi di rumahnya kadang menghambat serupa angin yang dia terjang sendiri. Lana mengkhawatirkan ibu dan Bi Dumi satu-satunya alasan mengapa dia melarikan cemasnya kepada beliau--Bi Dumi.

Ibu sendirian di rumah. Tubuhnya lunglai, tak berdaya. Mulutnya tak berhenti meracau. Menyebut nama seseorang. Lana paham betul siapa orang yang disebut Ibu. Paham juga mengapa dia harus berlari menjemput Bi Dumi biar, setidaknya, ibu diam.

Lana mengenali orang di setiap racauan ibu. Bukan Bi Dumi, melainkan lelaki yang mestinya disebut ayah olehnya. Sukar untuk menjemput lelaki itu, apalagi memintanya menjenguk ibu yang sedang kambuh.

Jalan masih separuh tempuh. Rumah Bi Dumi sudah tampak dari kejauhan. Meski tampak kecil karena jauh, Lana semakin mempercepat harapan satu-satunya di rumah itu.

Sepanjang dia berlari, pikiran Lana berkecamuk. Ada dua pikiran yang sama-sama berseteru. Pikiran pertama adalah bagaimana ia harus menyembuhkan penyakit ibu yang sedang kambuh, dan bagimana Lana meminta Bi Dumi datang menjenguk ibu. Bukankah dulu, pertikaian ibu dengan Bi Dumi semakin seru saja. Semakin adu mata mencalang hina. Ini bukan karena sebab. Keduanya memang adalah istri dari lelaki yang disebut ayah oleh Lana.

Malangnya, Lana tidak pernah mengetahui keberadaan ayahnya itu. Di rumah Bi Dumi juga tak bersembunyi. Bi Dumi malah menuduh ibu Lana-lah yang telah menyembunyikan lelaki itu. Lelaki yang sejak dulu diperebutkan keduanya. Tidak oleh Lana.

Lana masih berlari. Napasnya tersengal-sengal. Pintu bambu yang memagari gubuk besar milik Bi Dumi tampak jelas kelihatan. Lana semakin berat mendekati rumah itu. Tampak di sana, rumah itu kosong. Semak belukar semakin mencuri celah-celah gubuk. Rumput liar begitu subur, tak ada upaya dari pemilik rumah ini untuk menyianginya--sepertinya begitu. Akankah ada Bi Dumi di rumah ini? tanya Lana melenguh.

Tak mau sia-sia perjalanan tempuh yang jauh, Lana langsung saja melompat dari pagar bambu. Kemudian beringsut masuk ke dalam rumah Bi Dumi melalui pintu kayu itu. Tampak berdebu. Mungkinkah Bi Dumi telah lama pergi dan meninggalkan gubuk ini?

Sesekali nama Bi Dumi dipanggilnya. Lana menyusuri setiap ruang yang ada. Tetap tak berjumpa dengan sosok Bi Dumi.

Apa mungkin Lana salah rumah?

Tidak mungkin. Dulu, saat ada perempuan pertama kalinya menjenguk ibu. Lana mengenali Bi Dumi. Meski kedatangannya itu tidak mengenakan hati lantaran antara Bi Dumi dan ibunya tiba-tiba saja perang mulut dan perang sumpah serapah. Keduanya tak mau kalah, sampai Lana menemukan keduanya kolap di tanah. Keduanya dipisahkan oleh Lana di kamar berbeda di rumahnya. Ibunya di kamarnya dan Bi Dumi di kamar Lana. Setelah siuman, Lana mengantar Bi Dumi di rumah ini. Meski selama perjalanan hantar, caci maki tak berhenti mengiringinya.

Lana mantapkan di hatinya lagi. Benarkah dulu dia mengantarkan Bi Dumi di sini? Benar. Dan memang benar. Bukankah dulu saat menjenguknya lagi di rumah ini, Bi Dumi masih menginjakkan kaki di rumah ini? Bila begini, bagaimana nantinya ia tak berhasil membawa Bi Dumi menemui ibunya.

Sungguh aneh permintaan ibu itu. Di tengah-tengah tubuhnya yang menungku, dia masih saja meratap-ratap sembari mengutuk nama Bi Dumi. Meski Lana tak berwatak sama, dan malah lebih sering menyembunyikan kata cacian itu dibenaknya saja, Lana tetap menenangkan amarah Ibu.

Jangan mengira bahwa Lana tak memahami semuanya. Lana paham betul mengapa kondisi ibu begitu. Lana akan menjalin keakraban dengan tanda tanya besar di dahinya. Mengapa ibu meminta Lana menghadirkan Bi Dumi di tengah-tengan igauannya.


Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Cerita dari Lorong"