Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Setelah Membaca Nasihat Salah Satu Bab Ihyaa

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Bismillahirrohmaanirrohiim

Berawal dari seringnya aku larut dalam kegelisahan hati. Aku membaca kitab Ihya Ulumuddin-nya Syaikhul Islam Imam Ghozali. Kitab jilid ketiga dari berjilid-jilidnya kitab tersebut membuka mataku tentang Rahasia Hati. Sungguhpun kegelisahan ini terjawab sudah atas penjelasannya. Meski masih aku benar-benar memantapkan pemahaman ini sesuai dengan isi penjabaran kitab tersebut.

Penjelasan di awal bab, Imam Gozali menjelaskan pengertian yang membatasi wilayah kajiannya. Beliau mendefinisikan berbagai pengertian untuk menjelaskan pengertian tersebut lebih mendalam. Diselingi beberapa contoah agar tingkat awam-pun mampu mafhum atas penjabaran tersebut agar tidak melenceeng dari maksud isi kitab tersebut.

Ada beberapa kesimpulan yang aku rasakan setelah baru saja aku membacanya. Ini terkait dengan apa yang sedang terjadi di hatiku. Baru beberapa halaman saja, ada banyak penyadaran yang sudah dijabarkan oleh isi kitab tersebut. Di antaranya adalah pemahaman hati dan segala yang telah diremah-remah hati. Penjelasan sang Imam pada awal pemdahuluannya memberi kesadaran bahwa hati manusia memiliki peranan penting dalam menampung segala rasa. Rasa sesal, gundah, selalu menuruti segala macam kesalahan ternyata bersarang pada hati. Dari sini aku seperti dibukakan kembali bahwa perlu adanya pencarian kesadaran diri bahwa hatiku memang perlu disucikan kembali agar cahaya ilahi menerangi segala petunjuk Robb-ku memberinya rahmat dan hidayahNya.

Dalam kitab tersebut, aku pula menyadari penggambaran diri manusia. Hampir tepat membuatku tersadar bahwa aku ternyata mirip dengan binatang. Seperti yang digambarkan/dijelaskan dalam kitab tersebut. Aku telah memperturutkan napsu. Juga membiarkan akal membeku untuk menasihati segala macam kesalahan-kesalahanku. Hingga pada kesadaran itu, aku menjadi semakin tersadar. Dari situlah musabab keresahan dan kegundahan hati itu berasal.

Pada kesempatan ini, aku ingin memberikan kesimpulanku sendiri. Kesimpulan yang aku buat berdasarkan pengalaman dan perenungan atas nikmat-nikmat yang pernah aku rasakan dalam menjamahi rahmat Robbku. Kesimpulanku masih bersifat prematur dan terkesan belum matang. Namun, rasanya aku ingin sekali mengungkapkannya biar terlampiaskan.

Memang kesimpulan ini terkesan kupaksakan. Aku terlalu dini bila kuungkapkan kesimpulanku saat ini. Tapi tak mengapa 'kan?

Setelah kuberanikan diri mengungkapkannya, aku ingin menyampaikan kesimpulan sementaraku di sini. Yaitu tentang kelakuan ketenangan. Ternyata, ketenangan itu hanya bertenggat di antara lima waktu. Kalau orang yang hidupnya merasa tak tenang berlalu-laru. Cobalah intropesi di antara sekat-sekat kelima waktu itu.

Sederhananya begini: Ketenangan itu akan kita rasakan di antara 5 waktu. Pertanda adanya waktu tersebut adalah di setiap azan menyeru sepanjang hari. Ya. Waktu tersebut adalah waktu shalat. Antara waktu satu shalat ke waktu shalat selanjutnya terdapat waktu yang melenggang-lenggangkan ketenangan. Entah ketenangan itu benar-benar bertandang di antara keduanya atau malah sering membuat kekacauan dengan cara menghilang di antara waktu tersebut.

Cara yang shahih untuk mengundang ketenangan itu datang adalah dengan mengunjungi masjid-masjid di kala azan sudah menyerunya untuk shalat. Tidakkah kita sering dengar lafadz nida' yang selalu muazin serukan? Hayya 'ala alfalakh!. Kita pun sebenarnya tahu arti seruan itu untuk menjemput kemenangan kita. Dan tujuan kemenangan adalah ketenangan itu sendiri bukan. Apabila tunai si pendengar menuruti perintah Robbnya--yaitu turut datang ikut berjamaah menjalankan shalat mantubah tersebut--tentu setelah pulang dari shalat di masjid itu akan membawa bekal ketenangan. Hati serasa mendapatkan sesuatu dari shalat berjamaahnya itu.

Namun, bila seruan itu masih pula diabaikan. Lebih asyik dengan kesibukan. Kita pasti bisa membayangkan gelisah hati kita karena belum lunas kebutuhan kita terpenuhi. Ibarat makan, pas waktunya tiba, padahal ketersediaan waktu masih memenuhinya, sementara perut pula memanggilnya kelaparan. Tentu hati akan gelisah melihat jatah kebutuhan ketenangan segera habis oleh kesibukan kita sendiri. Bila sampai peringatan itu segera ia laksanakan, maka kegelisahan semacam  itu akan hilang. Tapi kalau tidak, malah mendurhakai untuk menunaikannya, tentu kegelisahan turut muncul berkeseharian.

Begitulah kiranya aku dapati setelah membaca kitab permulaan ini. Sebenarnya masih banyak yang telah aku renungi dari pembacaan awal kitab ini. Tapi aku hanya menyampaikan itu saja dulu. Sebab kebutuhanku yang ingin terlampiaskan adalah penjabaran akan adanya senggang-senggang yang turut menjadi tempat ketenangan itu bertandang di hati kita.

Wallahu'alam

Wassalamualaikum


Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Setelah Membaca Nasihat Salah Satu Bab Ihyaa"