Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen: Titah tatih-tatih


Untuk bisa kembali ke masa lalu, cukup mengenang cerita-cerita yang membuatmu tersenyum. Usah mendengarkan elegi masa lalu yang menyudutkan diri untuk merasa menjadi mahluk lemah. Perlu pertolongan, dan butuh belas kasihan. Tidak, tidak. Ketika kenangan mengeja setiap ceritanya, yakini saja bahwa itu adalah lembaran sejarah yang tak mungkin hilang meski ada upaya untuk menghapusnya dari ingatan.

Butuh waktu memang untuk menerima keadaan ini sekarang. Lintang, begitulah ia disapa, pernah mengubur semua tentang masa lalunya. Semua cerita dari mana dia bermuasal, janabijana, renjana pada semang. Semuanya masuk dalam daftar keranjang sampah yang tak perlu didaur ulang menjadi kenangan. Tak perlu Lintang memungutnya untuk sekadar diambil pelajaran. Baginya, kenangan kelam adalah pelajaran mengerikan yang tak perlu lagi diterapkan. Untuk itulah dia benar-benar ingin menghapus semua  hal yang berurusan dengan kenangan. Sampai-sampai nama Lintang pun menjadi bukti peniadaan masa lalu itu. Nama Lintang ia pilih untuk mengganti namanya di masa lalu.

Lintang, begitulah ia disapa. Dia tidak akan menjawab apapun tentang cerita masa lalunya. Bahkan pernah ada teman di masa lalunya menanyakan kabar. Diam sering menjadi jawaban atas sapaan mereka. Sekadar membalas sapaan semacam lengkungan senyuman pun tidak menjabat persahabatan. Bagi yang belum mengenal Lintang sepenuhnya, entah itu dari teman-teman masa lalunya ataupun teman yang ingin tahu tentang diriny, terasa tersinggung bila menyapa begitu. Alih-alih berdalih, Lintang sering menggerutu pada perilaku seperti itu. Ungkapnya, "Dasar sok kenal."

Begitulah. Lintang adalah cerminan orang-orang gagal yang melintasi kenangan. Dia hidup dengan memutuskan waktu yang terus menggilas. Lintang sering terbawa arus pada tempat kesesatannya. Meski usahanya berperih keringat peluh, tiadalah kenangan itu benar-benar raib mengeja waktu ke depan. Kenangan itu sering dia umpat dengan kata-kata kutukan. Semakin mengutuk kepada siapapun dan apapun yang kembali mengingatkan masa lalunya.

Apakah kenangan itu semacam legenda kelam bagi Lintang. Padahal kebijaksanaan itu mesti Lintang pancangkan. Kenangan tidak terjadi karena begitu saja. Pasti adanya sebab atas akibat terjadinya masa-masa kelam. Lintang, tetap saja tidak mau menceritakan mengapa dia membenci kenanga.

Lintang, begitulah dia disapa. Bagi mereka yang baru mengenal Lintang. Mungkin akan mengira dia adalah lelaki pencinta kesepian. Di tempatnya dia bekerja, sebagai kuli angkut ikan di pinggir pelelangan ikan, Lintang sering memaku bisu. Suruhan dari mandor-mandor menjadi kata-kata perintah yang tak perlu dibantah. Lintang adalah tipe manusia robot yang bekerja tanpa ada keluhan. Semuanya dia kerjakan. Sampai-sampai, banyak mandor lebih suka menggunakan tenaga Lintang untuk mengangkut barang bawaannya.

"Lintang, angkut dan bawa keranjang ini. Kemudian Kamu kilo beratnya!" perintah salah seorang tengkulak ikan kepada Lintang.

Maka Lintang pun, tanpa ba-bi-bu, langsung mengangkut dan mengilo keranjang itu. Hasilnya akan segera dilaporkan kepada seorang tengkulak itu. "45 Kilo." Hanya itu yang dia ucapkan. Tidak lebih. Dan tengkulak itu langsung melempari upahnya.

Pernah suatu ketika, beberapa buruh panggul di pelelangan ikan itu berasa iri kepada Lintang. Mereka harus tahu mengapa Lintang begitu diam saja. Tengkulak-tengkulak ikan tidak lagi menggunanakan jasa tenaga mereka karena melihat Lintang harganya lebih murah. Merasa Lintang telah membunuh satu-satunya usaha mereka, juga menikam harga letih mereka, mereka langsung meminta Lintang untuk tidak sering menerima tawaran. Atau paling tidak, sepakati saja harga letih tenaga kuli panggul. Semestinya. Biar tidak semena-mena.

Sejujurnya, ada sebagian kuli panggul yang tak perduli dengan kehadiran Lintang. Lintang hanya orang dungu yang turut memeras tenaganya sebagai kuli panggul dengan harga murah. Malah terlalu murah untuk meminta upah. Seenaknya saja tengkulak memberinya upah, Lintang tak akan protes macam mereka yang sering meminta tambahan upah. Bagi sebagain mereka ini, Lintang akan terkena batunya sendiri. Dia pasti akan mengeluh dan akan tak merasa betah.

Namun, siapa yang menyangka. Lintang tetap Lintang. Cahayanya akan terus bersinar di langit-langit gelap malam. Menghiasi dengan bintik-bintik keringatnya menjadi kuli. Lintang semakin tak peduli bila ada badai menyerbu kebisuannya. Lintang semakin kokoh saja.

Hingga pada batas kesabaran mereka. Oleh sebab lain juga, Lintang semakin laris dipanggil tengkulak untuk menjadi kuli. Bahkan semakin semua barang angkut diborong si Lintang. Membuat kuli-kuli panggul menjadi geram. "Sok sekali si Lintang. Dia pikir kerja ini milik dia saja!" Begitulah ungkapan kekesalan mereka.

Pernah ada seseorang yang diutus oleh kelompok buruh panggul di pelelangan. Permintaan mereka hanyalah satu, tolonglah jangan terlalu bernafsu menyerobot usaha mereka satu per satu. Lintang hanya menjawabnya dengan bisu. Juga tanpa ekspresi yang membuat utusan itu mengerti keadaannya begitu. Marahlah utusan itu dan hendak mengepalkan tangan kemudian melesatkannya di muka Lintang. "Songong sekali dia!" Begitulah, tatkala kejadian baku hantam tidak terjadi di tempat Lintang terlihat sibuk. Untunglah banyak mandor dan ada kunjungan beking berseragam cokelat di situ. Bila terjadi kekisruhan bisa-bisa mereka dibui. Selamatnya Lintang dari ancaman lebam.

Namun, suatu ketika ada seorang kuli yang ingin bersahabat dengan Lintang. Orang tersebut mendekati Lintang karena rasa simpati dan kekagumannya. Namanya Jenar. Ya, Jenar sapaannya. Sama seperti tukang kuli-kuli panggul di pelelangan ikan tersebut. Jenar juga seorang penyepi. Sama seperti Lintang. Kesamaan Lintang mungkin bisa bersahabat dengan Jenar. Sayangnya, Lintang menghajar Jenar ketika pertanyaan menyarang lebih dulu ke benak Lintang. Padahal hanya sebuah pertanyaan, "Lintang, di mana ibumu?"

Sungguh tragis nasib wajah Jenar. Penuh lebam dan biru meriasi wajahnya. Rasa sakit ikut pula dia rasakan. Jenar benar-benar keterlaluan. Melihat ulah Lintang terhadap Jenar. Seluruh kuli panggul mendatangi Lintang dengan ragam alat-alat pemukul. Kemarahan mengiringi kedatangan mereka. Napas sengal-sengal karena kesal yang selalu mereka tahan-tahan, saat ini menuai kematangannya. Wajah Lintang menjadi sasaran pelampiasan kekesalan. Tak peduli terhadap keamanan di pelelangan itu mereka berbondong-bondong dengan semangat menghancurkan tubuh Lintang.

Sementara itu, Lintang masih sibuk dengan keranjang-keranjangnya. Satu dia panggul di bahu kanan, ditumpuk dua keranjang. Satunya dia gendong di pingga. Masing-masing keranjang beratnya hampir setengah kuintal. Jalannya sedikit tertatih menahan berat. Hebatnya, Lintang selalu merasa kuat.

Belum sampai ke tempat di mana keranjang itu di taruh. Lintang diserbu dengan hujaman cacian dan tendang. Terpental pula isi keranjang itu. Tubuh Lintang yang separuh tambun, terjerembab. Lintang masih tersungkur, gebukan pun membuatnya kembali mencium tanah. Darah dari pelipis yang robek, membuatnya perih. Lintang mengaduh. Tapi tidak diberi kesempatan untuk Lintang mengeluh. Tendangan sepatu bot plastik yang dikenakan buruh-buruh panggul menjadi alat empuk untuk membentuk luka lebam di sekujur tubuh Lintang.

***

Setelah kejadian itu, Lintang tidak kembali ke tempat pelelangan. Meski tengkulak-tengkulak yang iba kepadanya membawa Lintang ke tempat perawatan hingga Lintang hampir sepenuhnya sembuh pun tidak kunjung menjambangi tempat pelelangan. Padahal, para tengkulak sering mengundangnya untuk menjenguk tempat pelelangan. Mungkin sekadar mengunjungi dan mengganti kesempatan mereka bertemu dengan Lintang. Seperti biasa, Lintang hanya menjawabnya dengan kebisuan. Namun, para tengkulak mengerti tabiat Lintang.

Setelah sembuhnya pun Lintang tak kunjung datang. Kediamannya pun sepi dari tanda-tanda keberadaan Lintang. Konon, ada yang melihat Lintang membawa rangsel besar. Mungkin baju-bajunya sudah dia kemasi. Mungkin Lintang akan pulang. Lintang tidak pernah memberitahukan ke mana dia akan pergi. Alamatnya dan muasalnya Lintang pun tak ada yang mengerti.
 
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Cerpen: Titah tatih-tatih"