Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen: Diyang Wiri


Oleh: Syahandrian Eda
Keputusan raja sudah maklumat. Diyang Wirilah yang harus menjemput Pangeran Satya. Tak boleh gagal titah itu harus kembali pulang. Wujud Pangeran Satya harus menghadap di kehadiran baginda raja. Muasal cara Diyang Wiri bagaimana sampai mewujudkan keinginan baginda sudah sepenuhnya kewenangan panglima perang itu.

Sejatinya, Diyang Wiri merasa dilecehkan dengan titah macam begini. Mengapakah baginda raja tidak menitahkan perintahnya memperluas jajahannya. Toh, kerajaan Sampang Wangi telah mencapai kedigjayaannya. Begitu keyakinan Diyang Wiri menjadi gumam dalam besit pikirannya. Namun, kesetiaannya ternyata butuh dipahami oleh Baginda Raja Sadharma. Turut pengorbanan macam apapun harus menjadi pembuktian kesetiaan. Biarpun menjemput anak mahkota yang manja, Diyang Wiri wajib buktikan kesetiaan pada titah sang raja.

Tidak meluncur perintah untuk kedua kalinya, Diyang Wiri berangkatlah mencari sang pangeran. Berbekal keyakinan atas kemampuannya membawa pulang sang anak raja. Diyang Wiri undur pamit hendak turutkan perintah junjungannya. Menyusuri alamat di mana terakhir terdengar Pangeran Satya, Diyang Wiri menuju ke arah selatan ibu kota.

Selama perjalanannya, Diyang Wiri masih mengeja kenangan heroiknya. Dulu saat menjadi prajurit Raja Sadharma, berperang bersama dirinya, Dia mampu merubah suasana genting saat terkepung pasukan lawan. Bertarung dengan perasaan gemih Diyang melawan musuh. Bekas luka yang menyayat di lengan kanannya, menjadi saksi bisu bahwa betapa besar jasanya untuk kerajaan itu. Namun, sampai perjalanan kerajaan itu tentram, mengapakah tiada balas budi yang diberikan kerajaan itu untuknya. Jabatan panglima perang untuknya serasa tak pantas ia sematkan. Masih kurang peras menjadi balas amuktinya. Lebih lagi, Raja Sadharma sudah memutuskan untuk menghentikan peperangan dan tidak rakus memperluas daerah kekuasaan. Padahal, bila satu titah saja untuk menyerahkan perihal siasat memperluas kekuasaan itu kepada Diyang Wiri, dia pasti sanggup mewujudkannya. Bahkan mungkin lebih.

Apakah Raja Sadharma tidak meliha seluruh pasukannya. Prajurit-prajurit setianya akan rela berkorabn untuk menuruti perintahnya. Sungguh pun begitu. Seluruh pasukan hanya ditiduri oleh latihan-latihan yang tidak pernah tahu kapan akan berperang. Mereka hanya diperintahkan untuk menjaga daerah perbatasan dan sesekali membantu pemerintahan dalam penarikan upeti. Meski begitu, mereka--prajurit itu--tidak pernah berlaku lancang. Upeti yang sampai ditagih dari rakyatnya tetap tak menyunat jumlahnya. Sekian jumlah yang didapat dari upeti, maka tiada yang kurang pulalah yang mereka laporkan kepada sang raja.

Namun, siapa yang sangka. Kehidupan prajurit tidak menuai kesejehteraannya. Mereka hanya menerima serupa upah kuli para petani di sawah-sawah. Bahkan untuk membeli beras pengisi laparnya, tak kurung terpenuhi. Apa Raja Sadharma tidak melihat itu?

Sampai pada waktu, sang kadi menghukum beberapa prajurit yang setianya itu melakukan pencurian hasil upeti-nya. Mereka diganjar dihukum dera 40 dera. Setelahnya bebas. Hukuman itu masih terlalu ringan, menurut sang kadi, karena menimbang jasa-jasa prajurit itu di medan perang. Dalih untuk memantapkan kesetiaan, para kadi memberinya keringan hukuman: dari 100 pecutan, menurun 40 pecutan. Diyang sendiri menyaksikan sendiri hukuman itu. Diyang merasa miri melihat anak buahnya dihukum seperti itu. Ketika mendengarkan pengkuan mengapakah bisa berani berkhianat mengambil upeti raja, prajuritnya berdalih: "Kami hanya ingin meminjam sebentar sekarung padi dan jagung, lantaran keluargaku belum makan. Toh, bila dapat upahnya dari bendahara kerajaan, kami akan melunasi dan mengembalikan seharga yang sama."

***

Perjalanan sang panglima sudah separuh alamat tujuan. Dia terasa lelah. Mungkin berteduh di bawah pohon besar akan menyegarkan kembali pikiran dan letihnya. Tidak bisa Dia bayangkan bila dia membawa beberapa anak buahnya. Pastilah mereka akan letih seperti dirinya. Beruntunglah keinginan menjemput sang putera mahkota kerajaan tidak berturutserta prajurit setianya. Diyang Wiri akhirnya beristirahat di bawah pohon besar itu seorang diri.

Sembarinya berteduh. Diyang Wiri menyaksikan wilayah kerajaan ini tumbuh subur. Pohon tempatnya berteduh itu, pula menyajikan pandangan teduh. Hijau daun menghampar hampir seluruh pandang. Kadang didapatinya angin berbisik membuat ombak yang ditarikan batang-batang padi. Lalu angin itu menghempas kesadaraannya. Kerajaan Sampang Wangi telah mencapai kesuburannya.

Sayup-sayup angin meniupkan mantranya. Hingga Diyang Wiri merasa terantuk kantuk. Matanya seakan berat menahan kesadarannya. Sepoi-sepoi angin ini serasa begitu mendamaikannya. Tubuh sang panglima ini pun terlelap sudah.

***

Kerajaan Sampang Wangi ta diserang oleh pasukan musuh. Mereka adalah pasukan yang dengan cadar tengkorak. Tiada satupun yang menampakan tampang wajah mereka.  Istana porak poranda. Beberapa prajurit tergeletak bagai hamparan sampah. Darah menggenang hampir di seluruh halaman istana. Pun tiada lagi orang-orang tersisa. Sorak sorai dari pasukan musuh pun begitu meriah. Mereka seakan memenangkan peperangan tiba-tiba.

Namun, ada pemimpin pasukan itu yang mencari Diyang Wiri. Kemanakah Diyang Wiri si panglima perang kerajaan Sawang Wangi itu?

Mereka mencari dan mengobrak-abrik di seluruh kamar istana. Tiada pula sosok Diyang Wiri. Pun istrinya. Diyang Wiri ternyata telah kabur dari istana itu sebelum mereka menjemput kehancuran kerajaan Sampang Wangi. Serasa kesal sang pemimpin pasukan itu karena tidak memenggal kepala sang panglima, dia tidak ikut serta bersorak pada kemenangannya menaklukkan istana.

Lalu, ada anak buahnya memberitahu. Diyang Wiri ternyata pergi turuti perintah sang raja untuk menjemput putra mahkotanya. Diyang Wiri pergi sendirian tanpa pengawalan. Begitulah yang didapat dari anak buahnya.

"Sebutkan di mana dia mencari sang pangeran itu?" perintah Sang pemimpin.

"Ampun, Baginda. Orang yang kutanyai sudah keburu mati." jawab sang prajurit yang telah mengabari keberadaan Diyang Wiri itu.

Kini, sedikit terhibur hati sang pemimpin pasukan itu. Rupanya Diyang Wiri masih bernyawa. Ada kesempatan untuk sang pemimpin untuk menjajal kedigdayaan sang panglima perang itu. Konon, Diwang Wiri tersohor kesaktian dan kesetiaannya. Amat beruntunglah kerajaan yang berhasil memungut Diwang Wiri menjadi tangan kanannya.

Ambisi sang pemimpin pasukan untuk mengadu kesaktian dengan Diyang Wiri menggebu-gebu. Diperintahkan seluruh pasukan itu menyusul perjalanan Diyang Wiri. Mungkin perjalanannya belum jauh. Berangkatlah seluruh pasukan itu menyusul perjalanan Diyang Wiri meninggalkan kerajaan Sampang Wangi yang hanya menyisakan puing-puing kemegahannya saja.

Ternyata, mereka mendapati Diyang Wiri sedang tertidur di bawah pohon Bodi. Beruntung sekali sang pemimpin itu menemukannya di sini. Dia memerintahkan untuk membangunkan Diyang Wiri.

Diyang Wiri terjaga. Dia terhenyak kaget melihat segerombolan pasukan bertopeng tengkorak. Dengan acungan pedang seakan menakut-nakuti Diyang Wiri. Diyang Wiri bersiaga meski.

Sang Pemimpin itu kemudian berbicara, "Hai, Panglima Diyang. Aku ingin menjajal kesaktianmu itu. Aku ingin kita bertarung sampai nyawa kita hunus!"

"Siapa kalian?" bentak Diyang Wiri. Sekligus memasang kuda-kudanya: Siap-siap bertarung.

Gelagat Diyang Wiri menjadi tontonan geli bagi segerombolan itu. Mereka tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha, tahukah Kamu kerajaan tempatmu mengabdi telah kuporak poranda!" teriak sang pemimpin itu. "Lihatlah!" tunjuknya lagi. Dia mengarahkan pada kepulan asap di mana kerajaan Sampang Wangi berdiri.

Turut pada telunjuknya. Diyang Wangi merasa miris. Kerajaan itu benar-benar telah hangus. Bagaimanakah nasib sang baginda raja? tanya Diyang Wangi.

"Tentu Kau bertanya-tanya, bukan, Panglima. Bagaimana nasib sang baginda rajamu?" kata Sang Pemimpin itu. Seakan yakin mampu membaca pikiran yang mendera Diyang Wiri.

Seketika, anak buahnya menyerahkan buntalan. Buntalan tersebut diserahkan kepada san pemimpin. Gemuruh tawa senang begitu semarak di antara prajurit bertopeng itu. Sang pemimpin hendak menunjukkan isi dari buntalan itu. Dia membuka kainnya, dan ternyata ...

"Hah?! Keparat!!!" Diyang Wiri begitu kaget. Buntalan itu berisi kepala sang baginda raja. 

Bahak tawa pun kembali menyeruak. Kini lebih terdengar puas. Namun, Diyang Wiri masih terpaku belum mempersiapkan serangan untuk menyerang pasukan tersebut. "Siapa Kau!" bentaknya.

Lagi, sang pemimpin dan pasukannya kembali tertawa terbahak-bahak. Perutnya seakan mengguncang-guncang puas menyaksikan tingkah kebingungan Diyang Wiri.

Setelah berhenti gema tawa mereka. Sang Pemimpin itu berbicara, "Yakin Kau ingin mengetahui siapa sejatinya aku?"

Diyang Wiri mulai menerka-nerka. Siapa sebenarnya sosok bertopeng yang memimpin pemberontakan ini. Mungkinkah musuh di masa lalu. Atau mungkinkah dia musuh yang telah dibiarkan hidup saat dulu berperang merebutkan kekuasaan bersama sang bagindanya. Dia menerka-nerka lagi. Mungkin ada satu keturunan dari raja yang mereka berhasil dibunuh. Lalu, setelah sekian tahun, anak itu membalas dendam kepada kerajaan Sampang Wangi. Tapi itu dirasa meragukan. Sebab, kerajaan yang berhasil ditaklukkan sudah tunduk dan tidak mungkin menyusupkan penghianatan.

Perlahan-lahan sang pemimpin itu membuka topengnya. Wajah itu terlihat lebih muda. Matanya mencorok, hidungnya mancung. Kulitnya pualam bersih. Dia tersenyum menampakkan wajah aslinya di depan Diyang Wiri.

Oh, betapa terkejutnya hati sang Pangima Diyang Wiri. Dia tidak menyangka orang yang memenggal kepala baginda itu adalah orang yang benar-benar dia cari.

"Pangeran?" kagetnya. Pertanyaan kini telah menyerangnya kepalanya lebih dulu. Mengapa Pangeran Satya membunuh ayahandanya sendiri?

***

Diyang Wiri terjaga. Napasnya tersengal-sengal. Rupanya di bawah pohon ini dia telah bermimpi buruk. Mengapa dalam mimpinya muncul kengerian yang ditampilkan oleh Pangeran Satya? Keringat dinginya meleleh hampir membasahi pakaiannya.

Diyang Wiri pun mendesah. Dia tidak mau melanjutkan lagi pertanyaan mimpi buruknya itu. Tubuhnya bangkit, dia melanjutkan perjalanannya menjemput pangeran Satya.

Namun, selama perjalanan itu. Dia memikirkan cara memberontak seperti cara Sang Pangeran Satya  kerajaan Sampang Wangi  dalam mimpinya itu.
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Cerpen: Diyang Wiri"