Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perempuan Jentayu

Andaikan waktu sanggup aku larung, mungkin kukayuh saja masa itu hingga menemui pangkal sejarah kita. Kembali menyisir rentangan ruang yang salah juga waktu yang kaprah. Bahwa, setibanya waktu itu menjemput kekinian, kita tidak mungkin mengeja sejarah-sejarah perih seperti ini. Atau bila kumau, pasak saja dalam-dalam bahtera ini hingga tenggelam ke dasar pangkuan karam. Kita buat pelabuhan baru di pulau kemesraan rindu. Sayangnya, tak setitik celah pun sanggup menimang keinginanku itu.

Lelaki itu mendongakan wajahnya. Membaca daun, sarat akan hijau menggantung. Kadang pula diikuti senyuman simpul akibat dedaunan itu bersiul. Seketika matanya meredup pelan-pelan. Aroma kesejukan telah bertandang. Raganya telah tersihir oleh rindang yang memanjakan kesendiriannya.




Tempat pengasingan ini bukan satu-satunya tempat untuk bisa membuat bayanganmu hilang. Kata-kata rindumu dulu begitu sakti untuk kurajah. Tidak ada cara yang sanggup untuk mencabar kesaktian rindumu itu. Bila berlalu, kalimat itu seakan  menjadi kutukan di telinga. Sampai sekarang pun kalimat itu terus meraung-raung di kepalaku.


Seketika daun ranggas terjun bebas tak beraturan. Seperti dipapah udara, lenggokan daun itu menari mengikuti desau lirih angin. Daun itu terkapar mesra di permukaan kulit lelaki itu. Sepasang matanya yang terpejam pun terbuka perlahan. Ingin tahu apa yang mengecup permukaan kulitnya. Oh, daun itu sebatas lalu mengecup kesadaran tamunya yang berteduh di bawah pohon di mana daun itu jatuh.

Sekokoh apapun pohon sulur tumbuh, daunnya yang tua akan berguguran tiba-tiba. Begitupun ragaku, yang ditumbuhi rimbunan hayalan akan bayangmu. Hadirmu telah beranak pinak dari satu rindu menjadi rindu yang lainnya. Aku tidak mau tua karena merahim namamu dalam rindu. Yang seketika membuatku mati sebelum masaku bersalin memperanak cintaku.

Sepotong tangannya memingit daun kering itu, telunjuk dan ibu jarinya mengapit pangkalnya. Daun itu ... Ranggas dan  getas. Hilang hijaunya termakan sisa usia. Dalam haru, wajah lelaki itu tersenyum untuk kedua kalinya. Mungkin mengerti bahwa sudah tunai tugas sang daun memberi napas pada batang pohon tempatnya berteduh itu.

Bila kaupilih asmara restu, mengapa kau korbankan asmara dungu. Kaulanggar sumpah kering di dekat Edelweis sini. Tak sudi memilih simbol kesetiaanku pada negeri. Pun cinta. Rela tak mengabariku kau telah tersesat di jalan pilihan salah. Bila saja aku tahu itu, aku sanggup memulihkan pilihanmu itu.

Lelaki yang masih lengkap dengan seragam loreng-loreng dan atribut infantri, mencengkram kuat-kuat daun yang tak berdaya itu. Jeritan daun terpekik lirih, berkeremek, sampai rangsek beremah-remah. Matanya kembali terpejam. Kali ini lebih terasa perih mengatup kekecewaan. Napasnya yang mulai tak beraturan seakan hendak melemparkan misil di sasaran musuh. Sayangnya, tak berlaku puas sekarang. Lelaki itu, menahan tangisnya.

"Tunggulah aku di tempat ini!" mintaku padamu saat itu. Kau tersenyum lalu menganggukan tanda setuju. Meski kutahu tersirat jelas di pelupuk matamu kegelisahan. Namun itu sanggup aku usap penuh harapan. "Tugas negeri ini adalah tugasku mencintaimu," kataku. 

"Kembalilah ... Kabari aku keberadaanmu." 

Lalu kupetik sekuntum Edelweis, menyematkan di kepalamu. "Kutitip kesetian ini di segenap bayanganmu."

Lagi-lagi kau tersenyum.

Lelaki itu bersungut, sesekali memukul tanah, kemudian dia rebah diikuti desahnya yang membuncah. Lelaki itu berteriak kencang. Lantangnya seakan mengusir burung-burung di balik persembunyiannya. Teriakan lelaki itu benar-benar mengancam kesepian.

Ingat bagaimana dulu berjuang. Ada sahabat yang sanggup menghibur. Ketika itu, Lelaki itu  sedang mandi di air terjun, ada pengecut yang mencuri seragam lelaki ini. Al hasil, telanjanglah dia.  Bari meminjamkannya seragamnya, karena besok hari adalah hari untuk Bari pulang meminang gadisnya. Seminggu kemudian, ada keributan di tanah adat. Seorang maling berseragam infantri dibakar masa. Maka jelaslah siapa yang dibakar itu. Peristiwa itu dua tahun yang lalu sebelum lelaki ini pulang di kampungnya.

Lalu aku ke medan juang. Bersama sahabatku yang juga kopral. Di tanah itu, aku menjaga garis perbatasan. Dua negeri, satu negeri kita, satu negeri lawan kita. Tentu ada alasan mengapa kami mesti berjaga-jaga di tempat jauh itu. Kata sahabatku, "Kau akan mengerti penghianatan saudaramu," Maka mulailah dendam itu membara. Bukan karena penghianatan di medan lagaku itu, tapi penghianatan yang lebih menyakitkan untuk diriku sendiri.

"Baaaaarriiii ....!!!" teriaknya. Senjata yang dia bawa juga dia dekatkan di kepala. Tangisnya kali ini tak bisa dibendung. Bobol mengikuti buncahan dendamnya. Bayangan tentang perempuan itu, seakan semakin dekat. Menari-nari di bayangan gelap. Dalam benaknya, perempuan itu seolah-olah hantu yang terus memburuinya rindu.

Beberapa tahun aku ditugaskan terpisah dengan sahabatku itu. Ada yang bilang dia dialihtugaskan ke pusat komando. Ada juga yang bilang dia akan menikah. Ah, senang rasanya bila aku juga menikah denganmu. Setahun aku menunggu waktu itu, tunai juga akhirnya kumempertahankan negeri ini. Saatnya kembali menjemput kerinduanku. Padamu, Edelweisku.

Namun, siapa yang menyangka. Surat terakhir yang mengatakan kamu rindu itu hanya kebohongan belaka. Cepat sekali kau menggugurkan kerinduanmu. Saat kupulang, kamu hanya dijejali oleh rasa heran. Bilangmu, "Bukankah Kau gugur di medan juang?" tanyamu terperangah.

Bukan hanya itu saja yang kau berubah. Tubuhmu juga. Sekarang terlihat lebih tambun. Perutmu lebih membukit. "Apa Kau hamil?" batinku berseloroh tak mau mengerti. Hanya tatapan terperangah sekaligus setruman syok menjalar di matamu.


"Aku sudah menikah ...," katamu pelan seakan menusukkan belati di hatiku pelan-pelan. Meski tangismu jatuh, tetap tak bisa kumaafkan.


"Kenapa?" tanyaku sedikit limbung. Tak percaya kau khianati.


"Setahun aku menunggumu. Kau  korban pembakaran masal di tanah perbatasan. Jasadmu tak berbentuk wajah yang kurindukan. Sungguh, setahun itu aku tak mengubur perasaanku padamu. Sayangnya umurku tak bersisa untuk remaja lagi. Menunggumu yang sekarat maut, telah membuatku tunduk untuk meminang laki-laki lain."


Dia mengerti mengapa kekasihnya itu memilih jalan hidup begitu. Nyatanya dia mesti bersyukur nyawanya masih menyarang di badannya. Tapi, tanpa perempuan jentayunya lelaki itu mati sebelum nyawanya hunus. Pelatuk senjata api begitu dekat di kepala. Sesekali matanya terpejam. Semakin dalam. Lalu ...

"Bari?!" tanyaku tiba-tbia ketika muncul lelaki lain yang dimaksud kamu.

"Prapto! Bukankah ...?"tanyanya mengacaukan.

"Kaauuu ...!!!" teriakku geram. Ingin rasanya kuancam kerah bajunya. Tapi ...

Darah mengalir dari selangkang perempuanku. Ketubannya pecah. Maka, dendam itu tercabar sudah.

Aku lebih baik mundur membiarkan sejarah perempuanku melabuhkan ceritanya dengan orang lain. Meski kutahu, Kembali menyisir rentangan ruang yang salah juga waktu yang kaprah. Bahwa, setibanya waktu itu menjemput kekinian, kita tidak mungkin mengeja sejarah-sejarah perih seperti ini. Atau bila kumau, pasak saja dalam-dalam bahtera ini hingga tenggelam ke dasar pangkuan karam. Sayangnya, tak setitik celah pun sanggup menimang keinginanku itu.

Door!!!
Isi kepala lelaki itu muntah di seruduk peluru senjatanya sendiri.Terkapar dan tergeletak di tanah ini. Seketika daun tua kembali berguguran, kali ini tidak satu petik daun, melainkan berbondong-bondong. Kali ini daun kering tidak untuk mencium kulit lelaki itu, kini lebih lagi. Serumpunan daun kering itu, kini menyelimuti lelaki perindu Perempuan Jentayu, dalam sematannya tertulis beranama: Prapto Adilugo
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

1 comment for "Perempuan Jentayu"