Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen: Panggilan Ibu



Ibumu adalah ibu yang selalu menyayangimu. Selalu. Bahkan kata "lupa" tidak pernah mengisi  kepalanya untuk berhenti menyebut namamu. Seperti saat Kau berada di kampung yang jauh bernama  kota. Ibumu selalu menceritakan semua kelebihan-kelibahanmu. Kau itu anaknya yang paling baik budi. Selalu mengingatnya dan menelponnya. Mengabari apa saja yang ingin kamu tanyakan kepadamu. Ibumu pernah bilang, "Anakku sungguh menjadi anak yang shalehah. Dia sudah bersuami dengan anak seorang kiayi besar. Setahun sekali dia bertandang. Kini, tinggal menemuiku dengan menghadiahiku seorang cucu yang menggemaskan."

Tahukah kamu, sejak kamu pergi dan melamar menjadi pegawai di kotamu. Ibumu mewanti-wanti dengan harapan yang cemas. Ibumu seakan menahanmu dengan berbagai alasan. Mulai dari musim panen raya di depan mata, sampai ada seseorang yang akan melamarmu untuk berumah tangga. Ibumu berharap kamu membantunya memotong padi, atau menikah dengan orang pribumi. Ibum cemas kalau kalau Kamu ke kota, kamu malah dimakan oleh buasnya kota. Jadi lupa dan tidak lagi berkunjung ke rumah orang yang melahirkanmu. Namun, sia-sia saja ibu mewanti-wanti begitu. Ibumu sudah tahu kamu berkepala batu. Prinsipil dan memegang teguh pendirianmu. Hebatnya, kamu berhasil merayu ibumu. Kamu berjanji untuk mengabari semua aktivitasmu di sana.

"Andi, apa ada telpon dari Maryam?" tanya ibumu, kemarin.

"Belum ada, Bu." jawabku, karena memang tiada tanda bekas ada panggilan menyapa dering di layar ponselku. "Aku telpon ya, Bu?" saranku, meski kutahu bahwa nomor kontakmu tidak lagi tersambung: Tidak lagi aktif, bahkan di luar area, katanya.

"Tidak usah. Mungkin sedang ikut menemani suaminya ceramah. Tidak usah." Ibumu sungguh lemah mengatakan itu, dan aku miris melihatnya.

"Tapi ..." aku meragu. "Ibu sedang sakit, tak mengapalah bila aku kabarkan ini kepada Maryam, Bu."

"Ti..., uhuks... uhuks!" suara batuknya membata-bata apa yang ingin ibumu ungkap. "Tidak usah!"

Kamu tahu? Aku tidak berani membantah apa-apa yang ibu katakan. Tubuhnya kering karena memikirkanmu. Sudah dua tahun lebih kamu tidak menemuinya. Tubuhnya kurasakan hangat. Suhu tubuhnya menyentuh derajat celcius normal tubuh manusia sehat. Aku yakin, gejolak rindunya kepadamu begitu membeludak.

Lihatlah! Ibumu selalu mengigau, menyebut-nyebut namamu: "Maryam..., Maryam...., Kamu pulang bawa cucu untuk ibu kan?" Bila sampai igauannya menyentuh telingaku. Aku serasa risih bila tahu keadaan aslinya dirimu. Aku sungguh muak atas semua kebohongan yang kamu racuni di jiwa ibu.

Apakah aku harus mengatakan kebenarannya bahwa apa-apa yang kamu ceritakan kepada ibumu itu bohong belaka. Kamu bilang kamu diterima di sebuah perusahaan swasta, jabatan mewah langsung menjemputi takdirmu. Padahal aku tahu sendiri kebenarannya. Kamu tidak bisa mengelak ketika aku tidak sengaja mendengar ada lelaki yang mendesah-desah di sampingmu. Lalu kamu kutanyakan suara itu, dan kamu bilang itu hanya suara radio. Dan seketika, entah tidak mau aku tahu belangmu, kamu segera menutup pembicaraan kita. Aku curiga, aku selidiki ala detektif seperti yang kutonton di film. Aku mengumpulkan semua informasi keberadaanmu. Yang kudapati, aku seperti sedang menyanyikan lagu "Alamat Palsu" yang terkenal itu.

Aku kecewa, sungguh. Aku berusaha mencarimu di kota yang selalu kamu ceritakan ke ibu. Aku bertanya kepada pak RT yang sesuai alamat yang kamu ceritakan. Di sana, tidak ada seorang anak kiayi ataupun orang ustadz yang bernama Zumron--nama suamimu. Bahkan, namamu juga tidak pernah terdengar oleh pak RT itu.

Lelah mencarimu, ternyata Tuhan menggariskan cerita pertemuan lain. Aku mendapatimu bersama seorang yang berkumis lebat, dan kamu ...

"Astaghfirullah ..."

Kamu melepaskan hijab sejak kecil yang kamu kenakan. Pakaianmu sungguh jauh dari apa yang kukenal dulu siapa kamu. Kamu sungguh berubah. Pakaian tak pantas kau kenakan. Aku menyapamu, dan kau melengos berusaha tak mengenaliku.

"Aku adikmu!" tegasku saat itu. Lelaki di sampingmu mengernyit, mengerling pandang ke arahmu. Kamu tergeragap dan berusaha membuat kebohongan baru. Amarahmu kemudian tumpah kepadaku di sebuah keramaian umum.

"Heh??? Siapa Lu! Sok kenal ..., Sory ya..., Anda salah orang. Saya bukan Maryam. Namaku Bella. Be-lla! Lagian aku anak tunggalnya mami dan papi. Gue nggak pernah punya adik dekil seperti Lu!" Masih teringat jelas umpatmu kala itu, kamu pun melenguh dan meninggalkanku dipermalukan kakakku di sini, "Pede banget sih, Lu!" cibirmu meludahi hatiku.

Baiklah bila aku salah orang, bagaimana bisa kamu jelaskan tanda lahir yang menempel di lehermu. Sebuah tanda lahir yang kenal sejak kecil kita bersama. Bagaiman bekas luka bakar, yang kini kau tutupi dengan lotion pemutih pun tak sanggup membohongiku, kalau orang yang kutemui adalah kakakku sendiri.

Aku berusaha menguntitmu dari jauh. Berusaha mengetahui sebenarnya. Aku sudah yakin kamulah orang yang sengaja ingin kutemui karena kecemasan ibu kepadamu. Aku turuti, menyewa tukang ojek, yang ongkosnya sanggup menghabiskan tabungan upah memanggul karung-karung padi di petakan sawah selama semusim panen raya. Aku tidak kehilangan jejakmu, sampai pada suatu tempat. Di suatu tempat yang banyak orang-orang sepertimu. Perempuan yang selalu memakai celana cekak. Paha-paha berseliweran di gemerlap cahaya remang. Tukang ojek itu bilang, "Ini tempat lokalisasi mahal, Mas!"

Oh, Tuhan. Apakah yang sebenarnya terjadi padamu, Maryam. Aku sungguh tak habis pikir. Aku bayar tukang ojek itu untuk menjernihkan pikiranku. Aku butuh menyendiri dan memeperhatikan tempat yang kamu masuki itu. Dan, entah terbesit akal dari mana, aku menitipkan nomer ponselku ke tempat itu.

"Maaf, boleh menitipkan nomer ini untuk Bella?" mintaku pada orang di sana, "Ada bos besar yang ingin booking dia."

Gila. Sungguh gila. Aku berani melakukan itu semua. Aku tergeragap saat bertemu orang yang kutitipi nomer telpon itu.

Aku pun pulang. Sepanjang perjalanan menuju rumah, tangisku seakan pecah. Air mataku terkuras peras. Aku sungguh takut sekaligus malu. Marah, sekaligus kecewa. Aku kalut bagaimana memberitahukan sendiri kepada ibu kebenarannya.

Setiba di rumah, aku tak kuasa melihat wajah bening ibu. Beliau begitu ingin mengetahui kabarmu di kota. Apakah kamu baik-baik saja. Aku tak berani mengatakan semua kebenarannya. Ibu begitu berharap pada kabarmu yang penuh mantap, mapan, seperti harapan ibu melepas kepergianmu ke kota itu. Kota yang kusebut kota kutukan yang mengubah jalan pikirmu. Meski begitu, aku pun menjadi korban kutukan itu pula. Aku pun menjadi pembohong seperitmu. Membohongi ibu bahwa kamu baik-baik saja disana. Dan pekerjaanmu, juga aku karang-karang demi menyenangkan hati ibu.

Sehari setelah kepulanganmu, aku banyak termenung. Ibu malah menyangka aku iri kepadamu. Iri karena ingin sukses sepertimu. Bullshit! Andaikan ibu tahu kebenarannya, ibu tentu akan lebih hancur dan kolaps seketika. Senyum ibu yang menggoda begitu, membuatku merasa dunia ini benar-benar menipu daya. Aku tak kuasa.

Dan ponselku pun berbicara. Nomor asing menyapaku dan itu pertama kali kamu menghubungiku, awal Desember tiga tahun yang lalu. Kita berdua marah-marah dan saling lempar umpat dan caci. Aku ceritakan kepadamu kondisi ibumu, ibu kita. Kamu di seberang telpon sana diam.

"Kamu masih di sana?"

Masih juga tak bersuara.

"Halo!" tandasku, sekaligus berniat memutuskan pembicaraan.

Namun ternyata, isak tangismu menyapa. Kamu mempunyai air mata juga rupanya. Kamu memohon untuk menyembunyikan semuanya. Kamu memohon kepadaku untuk merahasiakan pekerjaanmu yang basin itu. Kamu pun memohon ingin berbicara dengan ibu. Dan, mulailah sandiwaramu itu dengan karangan-karangan yang lebih berdosa dari karangan-karanganku semula untuk ibu.

Aku dengar kamu bilang kepada ibu bahwa kamu bekerja di sebuah kantor mewah, sekretaris di sebuah perusahaan jasa, milik orang kaya raya yang baik perangainya. Bahkan, kamu berani menambahkan pemiliknya adalah keturunan kiayi. Kamu sering diajak berdakwah. Bodohnya, aku tidak berkutik untuk menyanggah semua yang kamu katakan itu. Untuk meyakinkan, kamu pulang dengan orang yang berwajah yang sok alim. Aku tahu, lelaki itu orang bayaranmu, kan? Kau sukses mengeksekusi alibimu untuk menutup semua kebohonganmu.

"Alhamdulillah, Nak. Semoga hidupmu berkah." kata ibu saat itu.

Semua itu sudah berjalan hampir kuerter musim. Sejak dua tahun terakhir kamu pulang, kamu hanya menelpon ibu dengan kabar kepalsuan. Lengkap sudah 3 tahun kamu mengganjilkan cerita lumuran hina. Acap kali kamu berbicara dengan ibu, aku selalu menjauhi pembicaraan kalian. Aku keluar sejauh mungkin. Entah ke ladang, ke lapangan tempat anak-anak desa main layang-layang. Setelahnya aku pulang dan kudapati wajah ibu begitu senang. Ibu menceritakan semua yang telah kamu obrolkan itu. Kebahagian ibu tidak sampai di situ, ibumu menceritakan kesuksesan fiktifmu kepada tetangga-tetangga. Penuh semangat.

Sampai suatu ketika, seminggu yang lalu lebih tepatnya, ibu tiba-tiba bermuram durja. Mengurung diri di kamarnya sampai beberapa hari. Aku merasa bersalah padanya. Ingin kutanyakan perihal apa yang menyebabkan hatinya begitu luka. Apakah kedok kebohonganmu sudah terbuka?

Aku tidak berani bertanya seperti itu, Maryam. Pun, aku tidak berani dan tak sanggup bila ibu bertanya kebenaran tentangmu.

Sekarang, pulanglah. Apa Kamu tega melihat ibumu megap-megap, terbata-bata menyebut namamu, pulanglah! Sebab itu permintaan ibumu sebelum pertanda ajal menjemputnya.


*Indramayu, 10 Juni 2013.
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

5 comments for "Cerpen: Panggilan Ibu"

  1. Esthika Paranthika14 October 2014 at 13:43

    good job... (y)

    ReplyDelete
  2. Mantap ..., Lanjutkan Mas Bro ....!!!

    ReplyDelete
  3. Mantap ..., Lanjutkan Mas Bro ....!!!

    ReplyDelete
  4. Mantap ..., Lanjutkan Mas Bro ....!!!

    ReplyDelete