Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Serdadu Rindu


Cerpen
Serdadu Rindu #1
Sekilas tentang pujangga, ingin menggubah syairnya menjadi cerita. Syahdan pangeran renjana. Bertemu gadis jelita berperangai luhur lagi sopan. wajahnya ayu kemaharupaan. Tinggal bersama kakek separuh jaman. Saat berburu di hutanlah mereka jumpa.

Saat itu sang anak raja keluar dari pengawalan. Oleh serdadu istana pengawal pangeran. Akibat terlalu senang, pada buruannya yang melesat ikut hilang. Maka, sang anak raja itu tidak peduli pengawalan. Ia lari bersama tunggangannya mengejar Rusa hutan. Tersesatlah ia dari rombongan.

Saat resah mulai memanggil, kekesalan ikut menggigil. Pangeran marah kecil, sebab Si Rusa itu bersembunyi seperti kancil. Lalu ia putuskan pulang saja, akan dikabarkanlah cerita perburuannya ini, meski gagal. Tentu bukan cerita membanggakan bagi sang raja. Namun, itu sebatas hiburan putera sewayangnya penerus mahkota.

Di persimpangan, bertemulah sang pangeran. Dengan gadis berkulit pualam, wajah oriental, lagi sekal menyenangkan. Sang pangeran takjub pada sosoknya. Di istana tak ada perempuan cantik sebagai tandingan. Sekalipun ada, itu karena polesan. Berdebarlah hati sang pangeran, ketika hasrat hati ingin berkenalan. Masih dalam tunggangan kebesarannya, ia dekati si gadis pualam.

Seperti binatang buruan, si gadis  yang melihat ada sang pangeran merasa tak nyaman. Ia berhenti memetik tunas sayuran, lalu pergi begitu saja meninggalkan boboko sebagai keranjang sayuran segar. Terkesan ketakutan, si gadis itu berjalan cepat menjauhi sang pangeran. Sesekali, wajahnya memastikan. Barangkali manusia luar ini, penyamun perawan. Namun itu tidak membuatnya berhenti jalan, malah semakin menjauhi dari keberadaan sang pangeran.

Sang pangeran pun merasa keheranan. Dia turun dari tunggangannya, memanggul boboko penuh sayuran. Mengapa si gadis itu meninggalkan keranjangnya. Apa dia ketakutan. Bilik suara hati pangeran mereka nyana. Kalau pasti ketakutan, itu lucu sekali. Begitulah pikir sang putra kerajaan hingga dia bersimpul senyum kegemasan. Melihat boboko tertinggal, niat mengembalikan ke pemiliknya pun mulai ia rencanakan.

Menjinjing boboko itu, pangeran ikut menyusul jalan sang gadis. Beruntung punggung gadis itu masih tampak di seberang, jauh dari sana si gadis lari tergesa-gesa. Kadang pandangannya sesekali mengintip sang pangeran. Sembari berlari ketakutan. Sementara sang pangeran sendiri ikut membuntutinya. Beberapa langkah kemudian, tampaklah tanah lapang di tengah hutan. Ada rumah panggung, lumayan besar. Sepertinya di sinilah si gadis itu tinggal. Nyatanya, dia masih ketakutan saat menaiki undakan tangga rumah panggung itu.

Mata sang pangeran menyapu bersih sekeliling tempat itu. Di sebelah kanan ada tumpukan kayu bakar. Di sebelahnya lagi jemuran alang-alang. Ada sumur di  sebelah kiri. Persis di sebelah pohon  Sulur. Tempat ini terawat bersih, begitu penilaian tempat ini oleh pangeran.

"Ada apa Kisanak?" tanya seorang paruh baya tiba-tiba.

karena datangnya membelakang tubuh pangeran, ia terkejut ada yang datang. Dibalikan tubuhnya biar tahu siapa, ternyata lelaki tua sepantaran dengan ayahanda-nya.

"Maaf, Ki. Hamba lancang datang ke mari. Hamba tersesat tak tahu jalan pulang, sementara rombongan hamba sepertinya jauh meninggalkan hamba. Lalu di tengah hutan, hamba bersua dengan putri Aki."

Sekilas, lelaki tua itu menilai pemuda ini. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, bajunya dapat pasti dinilai kebesaran para kesatria keraton dalam negeri. Dari sinilah si Aki itu dapat menilai bahwa sang pemuda bukan sembarang priayi.

"Oh, dia cucu saya. Dia pasti ketakutan melihat kisanak. Maklumkanlah cucu saya, Kisanak, Dia gadis pingitan kesayangan saya satu-satunya."

Dari balik jendela, sepasang mata lentik mengintip perbincangan mereka berdua. Ada pijar yang menyala dari sorotan si pemilik mata. Tidak pernah ia melihat pemuda tampan rupawan sebelumnya. Gadis manis itu, rupanya takjub pada sosok pemuda yang mudah bercengkrama dengan kakeknya. Beberapa waktu kemudian, rupanya sang pangeran mengetahui tindakannya melilik. Segera saja ia menghindar jauh dari jendela. Tatapan sang pangeran, tenyata lebih pijar dari matanya. Syahdu bila ditatap olehnya. Perasaan itu, jauh lebih aneh dari yang biasanya.

"Silakan duduk, Kisanak!" Sang kakek mempersilakan tamunya itu duduk di ranggon depan rumahnya. Sang pangeran mengerti, ia tidak melepas senyum dari jinak-jinak merpati si gadis yang berhasil mengintipnya di balik jendela.

Sampai mereka berdua duduk beriringan, saling membincang. Pada saat sang kakek itu menanyakan perihal muasal pemuda tampan di hadapannya, sang pemuda menyebutkan namanya yang masyhur itu. "Nama hamba Syah Tafshi, Aki."

Terperangalah si kakek itu. Nama masyhur putra mahkota kerajaan Fattahi itu menjambangi. Tak pantas rasanya si kakek itu duduk sama tinggi. Maka tubuhnya ia beringsut ke tanah sembari menguncup tangan penuh hormat.

"Rupanya, Kisanak adalah putra kerajaan. Maafkan hamba lancang."

Melihat kakek itu bersimpuh di hadapannya, Syah Tafshi mengangkat bahu si kakek. "Bangunlah, Ki. Hamba bukan sepenuhnya priayi."

Semula kakek itu menolak berdiri, bahkan duduk sejajar pun rasanya tidak berani. Lancang. Seorang papa semestinya duduk di bawah kedudukan tinggi rajanya. Itulah gulatan pikir di kepala si Aki. Namun, sang pangeran itu tidak mau mengerti. Ia lebih menegaskan falsafah religinya yang dijunjung tinggi. "Manusia di hadapan Allah sama tinggi, yang membedakan adalah isi hati."

Meluluhlah si Aki. Ia sudi duduk sejajar dengan anak priayi. Apalagi pemuda itu kedapatan anaknya raja di negeri ini. Lebih tak mengenakan hati sebenarnya hati si Aki. Lidahnya seperti terkunci. Takut salah mengucap kebiasaannya mengobral cerita negerinya. Kalau-kalau salah mengeja riwayat, bisa marah dan mengadulah putra mahkota ini kepada ayahandanya. Leherlah taruhannya.

Rupanya tidak begitu. Syah Tafshi begitu memikat hati. Ia bertutur kata sopan dan tak ada tanda-tanda perangai dendam. Meluncurlah ucapan Kakek itu dengan lancar, meski sesekali ia mesti berpikir keras apa yang mesti ia ucapkan.

Kemudian, gadis itu keluar dari persembunyiannya. Kali ini membawa senampan buah segar sebagai jamuan. Juga sepasang gelas air gunung yang segar. Sang gadis meletakkan makanan itu di antara Syah Tafshi dan kakeknya. Sebelum meninggalkan mereka berdua, selengkung senyum melukis bibir sang gadis. Terpautlah hati Syah Tafshi padanya.

Lama Syah Fathi bercengkrama dengan si Aki-aki itu. Tahulah nama si Aki itu Datuk Subhi. Berlama-lama tinggal di tengah hutan ini, memang sudah pilihan Datuk Subhi. Tahu pula latar masa lalu Datuk Subhi. Beliau dulu adalah pembantu negeri yang punah puluhan tahun di seberang negeri. Ini berarti, sang datuk adalah golongan priayi, sama dengan Syah Fathi. Bedanya, kerajaan ayahanda Syah Fathi masih jaya sementara kerajaan Datuk Subhi lenyap ditaklukan penjajah negerinya.

Dag-dig-dug perasaan Datuk Subhi, saat bercerita mengenai negerinya dulu. Mungkin pangeran akan murka bila ia sebutkan nama kerajaannya dulu. Sayangnya, Syah Fathi tidak menanyakan nama negeri itu. Melegalah napas Datuk Subhi.

***

Sementara di dalam kerajaan Fattahi, Sang raja bermuram durja. Putra semata sewayangnya menghilang sudah berhari-hari selepas berburu rusa. Apalagi laporan sang bala tentaranya, juga patih yang diutus untuk menjadi pager betisnya, tidak membuah hasil pencarian sang putra mahkota.

Dirasa lelah menyisir pencarian di tanah kekuasaannya, sang raja meminta segenap kerabat, pejabat, dan seganap petinggi askarnya.Bermusyarawarah mencari mufakat tentunya.

"Bagiamana ini, Paman-paman Menteri. Anak semata wayangku, putra mahkota, penerus kerajaan ini telah menghilang tak tahu kabarnya."

Barisan patih dan penasihat kerajaan tidak ada yang berani bicara. Kelu dan bisu. Seperti ada kesia-siaan karena tidak sedikitpun mampu membuat baginda rajanya menghapus muram durja.

"Hmmm ...," lenguh sang Raja.

Masing-masing patih bersitatap meregang maksud. Apa arti lenguh sang Raja tentu menjadi arti ketidaknyamanan mereka. Barangkali ada tetua sesepuh yang mencari jalan lain. Nyatanya, tidak ada. Sekali ada menteri yang bicara, justru malah mengacaukan suasana. Apa pasal? Karena saran-saran itu ternyata harus mengulang pencarian lagi.

Maka dirunutlah saran terakhir itu, mungkin sebagai tak ada jalan lain selain usulan menteri. Maka dicarilah putra mahkota...

bersambung ....
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Serdadu Rindu"